[REVIEW] A Plague Tale: Requiem—Lebih Matang dan Penuh Adegan Brutal

Ketika memainkan A Plague Tale: Innocence beberapa tahun lalu, penulis sudah cukup terkesima dengan plot cerita dan gaya visual yang ditawarkan oleh Asobo Studio selaku developer. Pasalnya, game ini memang mengangkat kisah yang menarik. Narasinya lekat dengan petualangan solid dalam menghadapi wabah Maut Hitam di Eropa.
Nah, kelanjutan dari game tersebut sudah dirilis di Steam dengan judul A Plague Tale: Requiem yang tentunya makin terlihat solid. Baru saja dirilis pada 18 Oktober 2022 kemarin, game ini kembali dibuat oleh Asobo Studio dan diterbitkan oleh Focus Entertainment. Harganya juga terbilang cukup masuk akal, yakni Rp400 ribuan dan DLC-nya hanya Rp20 ribuan.
Well, bagaimana ulasan dari penulis? Yuk, simak review A Plague Tale: Requiem sebelum kamu membeli game ini.
1. Memiliki plot dan narasi yang lebih matang
A Plague Tale: Requiem memiliki plot lanjutan dari kisah yang dialami oleh Amicia de Rune dan Hugo de Rune. Mereka sempat menikmati kedamaian setelah wabah besar terjadi di A Plague Tale: Innocence. Tentu saja semua orang juga merasakan rasa damai tersebut meski pada akhirnya bersifat semu belaka.
Masih berfokus pada Amicia dan Hugo, penulis merasa bahwa game ini lebih cocok kalau kita mau mengikuti cerita pada seri pertamanya. Bisa saja gamer memahami alur baru yang disuguhkan oleh developer, tapi tentu tidak akan menjadi padat secara total. Oh, ya, Amicia juga sudah menjadi seorang gadis dengan kemampuan yang jauh lebih baik dari judul pertama.
Sayangnya, ke mana pun mereka pergi, di sana pula kutukan itu muncul. Jerih payah perjalanan yang mereka lakukan jauh ke selatan rupanya tidak mampu membendung kisah yang tak kalah tragisnya dengan masa lalu. Alih-alih mampu meredam kekuatan dan kutukan Hugo, wabah malah terjadi dan itu menjadi jebakan layaknya dua sisi mata uang yang berlawanan.
Yup, sama seperti sebelumnya, Hugo masih membawa kekuatan besar bernama Prima Macula, sebuah kutukan yang diwariskan dari leluhur sampai beberapa keturunan di bawahnya. Kutukan dan kekuatan untuk mengendalikan tikus ini menjadi sumber bencana manakala makin sering digunakan.
Tentu kamu akan berpikir bahwa seharusnya Hugo bisa mengendalikan kekuatannya itu. Well, itu benar, kok. Hugo memang sudah mampu mengendalikan Macula dalam tahap tertentu. Hanya saja, itu memiliki batasan. Ketika Hugo sering menggunakannya, ia akan melemah dan bisa berdampak pada lautan tikus yang tak terkendali.
Nah, perjalanan Amicia dan adiknya itu tentu bertujuan untuk menemukan obat penyembuh bagi kutukan Prima Macula. Itu tidak mudah dan perjuangan mereka jelas makin berat di sini. Untungnya, mereka sudah tidak lagi lemah seperti apa yang ditampakkan dalam A Plague Tale: Innocence. Di sini, mereka bertransformasi menjadi sosok matang yang gak gampang menyerah begitu saja.
Secara umum, plot dan jalan cerita yang disajikan oleh Asobo Studio sudah solid dan lebih matang ketimbang seri pertamanya. Akan tetapi, dalam A Plague Tale: Requiem juga diberi porsi lebih untuk detail cerita melalui dialog-dialog yang ada. Selain matang dan solid, plot yang dikembangkan pun terasa makin suram.
Pengkhianatan, kematian, dan perpisahan adalah sederet elemen klasik yang mungkin justru akan terasa makin intens di sini. Makin kuat Amicia dan Hugo menjalani hidup mereka, makin tebal pula cobaan yang harus dijalani. Di mata penulis, Asobo Studio sudah berhasil membuat narasi yang makin padat, dewasa, solid, dan berbobot.