[REVIEW] Redfall—Game Aksi Level AAA dengan Segudang Masalah

Game aksi bertema supernatural sebetulnya bukanlah hal baru dalam dunia gaming. Bahkan, pada awal-awal kemunculan konsol Nintendo NES dan Sega Genesis, game dengan tema macam ini sudah menjadi andalan pengembang dan penerbit untuk mengisi ceruk pasar gaming. Masalahnya, tidak semuanya berjalan lancar dan beberapa dinilai gagal total.
Nah, kali ini, ada Redfall, sebuah judul game aksi buatan Arkane Austin yang dirilis pada 2 Mei 2023 oleh Bethesda Softworks. Game ini bisa dimainkan pada platform Microsoft Windows (PC) dan konsol Xbox Series X/S. Tentu seharusnya karya megah ini mampu menjadi salah satu game andalan tahun ini.
Namun, benarkah demikian? Apakah Redfall betul-betul mampu memuaskan dahaga dan ekspektasi kita terhadap kemegahan aksi yang seharusnya tampil epik? So, sebelum memutuskan untuk membeli dan memainkannya, kamu bisa simak review Redfall di bawah ini. Yuk, langsung simak!
1. Penyintas di tengah kepungan para vampir
Ada narasi megah yang sebetulnya ingin ditunjukkan oleh Arkane Austin dalam game Redfall. Jika bicara soal orisinalitas ide, mungkin game ini bukanlah yang pertama. Namun, bicara soal legiun vampir yang berambisi melenyapkan beberapa orang penyintas di sebuah pulau, ini baru terdengar cukup menjanjikan.
Ya, di sini, kamu akan ditugaskan untuk menjadi survivor atau penyintas di tengah kepungan gerombolan vampir yang tentunya brutal dan haus darah. Dikisahkan bahwa wilayah bernama Redfall telah diisolasi oleh vampir dan tempat tersebut betul-betul dipisahkan dari kota atau pulau lainnya.
Sayangnya, kamu dan segelintir orang lainnya terjebak di sana dan hanya ada dua pilihan sulit: mati atau melawan balik. Konsep cerita macam ini tentu terdengar umum dan klise. Kita mungkin pernah merasakan aura yang sama tentang kisah dalam game ini di judul lain yang lebih senior, semisal Left 4 Dead, World War Z, atau Back 4 Blood.
Hanya saja, komponen antagonisnya diganti menjadi vampir yang sebetulnya tetap memberikan kesan yang sama dengan zombi pada umumnya. Lalu, ketika kita sandingkan dengan gaya narasi pada judul-judul sejenis, entah kenapa Redfall masih kurang gereget, bahkan jauh dari kata memuaskan.
Kita hanya mengikuti alur yang sudah ada layaknya game first-person shooter (FPS) biasa. Berjalan dari satu titik ke titik selanjutnya juga terkesan repetitif dan mungkin bakal membuat sebagian gamer enggan untuk menyelesaikannya. Padahal, kalau melihat judul besar milik Arkane lainnya, seperti Dishonored, Dark Messiah of Might and Magic, dan Prey, semuanya memang tampak megah dan brilian.
Namun, terlepas dari itu semua, suka atau tidaknya kita terhadap sebuah narasi tentu bergantung dari sudut pandang. Hal ini memang bersifat relatif mengingat selera gamer bisa sangat berbeda satu sama lain. Kalau di mata penulis, Redfall sebetulnya memiliki ide yang bagus dan sayangnya tidak diimplementasikan ke dalam narasi yang lebih kompleks.