Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 di Surabaya mendapat serangan siber dari geng hacker jenis ransomware varian Lockbit 3.0 yang melumpuhkan sejumlah instansi pemerintah dan pelayanan publik. Serangan ini tidak hanya berdampak pada layanan keimigrasian, namun, juga mengganggu program beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang sedang dalam tahap pemulihan akibat peretasan PDNS.
Akibatnya, mahasiswa penerima KIP diminta untuk bersabar dan harus mengunggah ulang dokumen pendaftaran mereka karena adanya data yang hilang akibat peretasan pada Pusat Data Nasional (PDN). Penjahat siber tersebut menuntut tebusan sebesar 8 juta dolar Amerika Serikat (sekitar Rp131 miliar). Namun, Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, dengan tegas menolak untuk membayar tebusan guna memulihkan Pusat Data Nasional (PDN).
Dengan tebusan sebesar itu, tidak mengherankan jika ada yang harus dikorbankan. Ransomware adalah jenis malware dengan tujuan finansial, di mana peretas biasanya meminta uang tebusan dengan ancaman akan mempublikasikan data pribadi korban atau memblokir akses ke layanan secara permanen. Meski membayar tebusan dinilai sebagai solusi cepat untuk memulihkan data, apakah sebaiknya perlu untuk memenuhi permintaan penjahat siber agar datanya bisa kembali lagi?
Ada beberapa alasan penting mengapa sebaiknya tidak membayar tebusan dalam kasus serangan ransomware. Apa saja? Yuk, telaah bersama-sama!