Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi pengguna internet
ilustrasi pengguna internet (unsplash.com/Vitaly Gariev)

Intinya sih...

  • Indonesia memiliki harga internet termahal di Asia Tenggara, sebesar 0,41 dolar AS atau setara Rp6.806 per Mbps.

  • Faktor utama mahalnya harga internet di Indonesia adalah kondisi geografis sebagai negara kepulauan dan minimnya persaingan penyedia layanan internet di beberapa daerah.

  • Thailand memiliki harga internet paling murah di kawasan Asia Tenggara, sebesar 0,02 dolar AS atau sekitar Rp332 per Mbps.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Di era digital terkini, internet telah bertransformasi menjadi kebutuhan dasar yang hampir setara dengan listrik dan air bersih. Sayangnya, di kawasan Asia Tenggara, biaya akses internet masih menunjukkan kesenjangan yang cukup lebar antarnegara. Harga yang tinggi dapat membatasi kemampuan masyarakat untuk memperoleh informasi, berpartisipasi dalam ekonomi digital, serta memanfaatkan peluang pendidikan dan pekerjaan berbasis daring secara merata. Oleh karena itu, membandingkan harga internet per Mbps antarnegara menjadi penting untuk melihat posisi Indonesia dalam konteks wilayah Asia Tenggara.

Menurut laporan VisualCapitalist yang dirilis pada 2 Oktober 2025, terdapat perbedaan mencolok dalam harga rata-rata internet di Asia Tenggara. Laporan tersebut menampilkan berapa besar kecepatan internet yang bisa diperoleh untuk setiap dolar yang dibayarkan (asumsi nilai tukar 1 dolar setara Rp16.600). Menariknya, Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tergolong memiliki harga internet relatif mahal, bahkan ketika dihitung per Mbps. Lantas, mengapa biaya internet di Indonesia bisa lebih mahal dibandingkan negara tetangga? Artikel ini akan membahas faktor-faktor di balik fenomena ini berdasarkan kondisi masing-masing negara di kawasan Asia Tenggara. Simak penjelasan berikut!

1. Indonesia (0,41 Dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp6.806)

ilustrasi laptop dan koneksi internet (freepik.com/freepik)

Menurut laporan Visual Capitalist, Indonesia menempati urutan ke-12 dalam daftar negara dengan biaya internet termahal sebesar 0,41 dolar AS per Mbps atau setara Rp6.806. Salah satu penyebab utama mahalnya harga internet di Indonesia adalah kondisi geografis sebagai negara kepulauan. Pembangunan kabel bawah laut dan jaringan serat optik yang harus menjangkau ribuan pulau menimbulkan biaya CAPEX (capital expenditure) dan OPEX (operational expenditure) yang tinggi. Selain itu, distribusi infrastruktur digital yang tidak merata membuat biaya pemeliharaan jaringan menjadi semakin besar.

Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2025 menunjukkan bahwa 74,31 persen masyarakat Indonesia mengeluarkan biaya langganan internet bulanan di kisaran Rp100.000–Rp300.000. Menariknya, survei tersebut juga memperlihatkan bahwa 71,96 persen responden menyatakan biaya langganan tidak berubah signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini cukup masuk akal mengingat harga rata-rata paket internet memang masih di kisaran Rp100 ribuan. Sebagai contoh, IDEOO menawarkan paket IDEOO Lite 10 Mbps seharga Rp150.000 per bulan. Sedangkan, EZNet by Telkomsel juga mematok harga yang sama untuk kecepatan serupa.

Selain faktor geografis dan teknologi, minimnya persaingan penyedia layanan internet di beberapa daerah juga membuat harga sulit turun secara alami. Ditambah lagi, biaya lisensi dan regulasi yang cukup tinggi memperlambat masuknya penyedia baru ke pasar. Meskipun permintaan internet di Indonesia terus meningkat, efisiensi harga per Mbps belum secepat negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

2. Filipina (0,14 Dolar Amerika Serikat atau Rp2.324)

potret Makati City, Filipina (unsplash.com/Sean Yoro)

Filipina memiliki kesamaan geografis dengan Indonesia sebagai negara kepulauan. Menariknya, Filipina berhasil menekan harga internet jauh lebih murah dibandingkan Indonesia. Berdasarkan laporan Visual Capitalist, Filipina menempati peringkat ke-32 rata-rata harga internet sebesar 0,09 dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp2.324 per Mbps. Capaian ini menunjukkan bahwa pendekatan kebijakan dan efisiensi biaya dapat menjadi faktor kunci dalam menekan harga layanan digital tanpa mengorbankan kualitas.

Salah satu faktor utama di balik penurunan harga tersebut adalah reformasi regulasi dan efisiensi biaya operasional di sektor telekomunikasi. Mengutip Philstar, pemerintah Filipina melakukan pemangkasan signifikan terhadap regulatory fees dan proses perizinan lokal, sehingga operator besar seperti PLDT dan Globe dapat memangkas harga broadband untuk publik. Kamar Dagang Operator Telekomunikasi Filipina (PCTO) juga menyatakan bahwa pengurangan biaya seperti spectrum user fee (SUF) berdampak langsung terhadap keterjangkauan harga internet. Bahkan, Wakil Presiden PCTO, Roy Ibay, menegaskan dukungan penuh terhadap target Departemen Teknologi Informasi dan Komunikasi (DICT) untuk menurunkan harga internet nasional hingga 30–50 persen pada tahun 2028.

3. Malaysia (0,09 Dolar Amerika Serikat atau Rp1.494)

Digital Nasional Berhad Malaysia (digital-nasional.com.my)

Malaysia menempati posisi ke-37 dalam daftar harga internet global dengan tarif sekitar 0,09 dolar AS atau sekitar Rp1.494 per Mbps. Salah satu faktor utama yang membuat harga internet di negara ini tetap kompetitif adalah penerapan kebijakan Mandatory Standard on Access Pricing (MSAP) oleh pemerintah. Mengutip MalayMail, kebijakan tersebut mewajibkan operator besar seperti Telekom Malaysia untuk menurunkan biaya grosir (wholesale) yang dibebankan kepada penyedia layanan internet (ISP) skala kecil. Kebijakan ini menciptakan efek berantai, di mana harga ritel broadband menjadi lebih terjangkau tanpa mengorbankan kualitas jaringan serat optik nasional.

Menteri Komunikasi Fahmi Fadzil juga mendorong ISP untuk menyediakan paket internet berkecepatan tinggi dengan harga yang lebih ramah bagi masyarakat. Ia menegaskan bahwa operator memiliki kemampuan untuk menawarkan harga kompetitif, seperti paket internet berkecepatan 100 Mbps seharga RM39 atau Rp153 ribu per bulan tanpa mengurangi layanan. Pernyataan tersebut disampaikan setelah evaluasi terhadap program Point of Presence (PoP), yang merupakan bagian penting dari inisiatif Rencana Jaringan Digital Nasional (JENDELA) untuk memperluas jangkauan internet di seluruh negeri.

Salah satu fokus utama proyek PoP adalah mengurangi kesenjangan digital antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Dalam pelaksanaannya, sekolah-sekolah dijadikan pusat infrastruktur jaringan fiber optik yang menghubungkan berbagai fasilitas publik di sekitarnya. Strategi ini tidak hanya meningkatkan akses internet untuk lembaga pendidikan, tetapi juga memperluas manfaatnya ke gedung pemerintahan, fasilitas kesehatan, serta pemukiman sekitar, memastikan seluruh warga Malaysia dapat menikmati konektivitas yang cepat, stabil, dan merata.

4. Vietnam (0,04 Dolar Amerika Serikat atau Rp664)

bendera Vietnam (unsplash.com/erika m)

Vietnam menempati posisi ke-48 dalam daftar harga internet termurah di dunia sebesar 0,04 dolar AS atau Rp664 per Mbps. Keberhasilan ini tidak lepas dari strategi pemerintah yang agresif memperluas infrastruktur digital nasional. Melalui rencana strategis hingga 2030, Vietnam menargetkan jaringan serat optik menjangkau seluruh kota, provinsi, kawasan industri, hingga rumah tangga.

Selain itu, Vietnam juga tengah membangun dua rute kabel bawah laut internasional baru serta sejumlah pusat data pendukung AI sesuai standar global, termasuk tingkat Efisiensi Penggunaan Daya (PUE) maksimal 1,4. Menurut Vietnam News, pemerintah menargetkan jaringan pita lebar 5G dapat mencakup hingga 99 persen populasi pada akhir tahun 2025. Ambisi yang lebih jauh adalah memastikan seluruh pengguna internet sudah menggunakan koneksi fiber optik berkecepatan minimal 1 Gbps sembari menyiapkan infrastruktur untuk uji coba jaringan 6G sebelum peluncuran resminya.

Selain dukungan kebijakan, Vietnam juga unggul dalam efisiensi biaya pembangunan pusat data dan infrastruktur telekomunikasi. Berdasarkan laporan Hanoi Times, biaya pembangunan data center di negara tersebut hanya berkisar antara Rp91 miliar hingga Rp139 miliar per megawatt (MW). Efisiensi ini memberikan ruang bagi operator untuk menekan biaya modal (CAPEX) sehingga mampu menawarkan tarif internet yang lebih terjangkau bagi konsumen.

5. Singapura (0,03 Dolar Amerika Serikat atau Rp498)

Infocomm Media Development Authority Singapura (iicom.org)

Singapura berada di peringkat 53 dan tercatat memiliki harga internet yang sangat terjangkau, yakni sekitar 0,03 dolar Amerika Serikat atau setara Rp498 per Mbps. Keberhasilan ini tidak lepas dari keberadaan jaringan fiber nasional Next Gen NBN yang telah dikembangkan sejak lama dan dirancang agar saling terintegrasi di seluruh wilayah. Pemerintah melalui Infocomm Media Development Authority (IMDA) juga terus mendorong investasi besar untuk memperkuat infrastruktur digital nasional dengan target kecepatan hingga 10 Gbps untuk rumah tangga pada dekade ini.

Faktor kepadatan penduduk yang tinggi dan wilayah yang relatif kecil membuat pembangunan jaringan fiber di Singapura menjadi lebih efisien dari sisi biaya maupun cakupan jangkauan. Selain itu, kompetisi yang ketat antara penyedia layanan utama seperti Singtel, StarHub, dan M1 turut mendorong terjadinya perang harga yang menguntungkan konsumen. Kombinasi antara efisiensi infrastruktur, dukungan kebijakan pemerintah, dan pasar yang kompetitif menjadikan Singapura sebagai salah satu negara yang memiliki internet tercepat dan termurah di kawasan Asia Tenggara.

6. Thailand (0,02 Dolar Amerika Serikat atau Rp332)

potret negara Thailand (unsplash.com/Mathew Schwartz)

Harga internet per Mbps paling murah di kawasan Asia Tenggara saat ini dipegang oleh Thailand sebesar 0,02 dolar AS atau sekitar Rp332. Berdasarkan laporan Thailand Data Center Colocation Market yang dipublikasikan oleh Arizton, Thailand memiliki 12 jaringan kabel bawah laut yang dijadwalkan beroperasi penuh pada 2025–2026. Infrastruktur tersebut memungkinkan transmisi data berkecepatan tinggi, menurunkan latensi, serta mendukung permintaan layanan broadband dan cloud computing yang terus meningkat. Berkat biaya bandwidth internasional yang rendah, operator di negara ini mampu menawarkan paket internet ke konsumen dengan harga jauh lebih efisien.

Selain itu, investasi besar pada pusat data (data center) juga memperkuat posisi Thailand sebagai hub digital kawasan. Salah satunya adalah kolaborasi antara NT (National Telecom) dan CtrlS dalam pembangunan fasilitas hyperscale data center di Provinsi Chonburi yang diharapkan memperluas kapasitas penyimpanan dan efisiensi energi nasional. Menurut situs resmi NTPLC, pemerintah Thailand juga mendorong liberalisasi sektor telekomunikasi guna menjaga kompetisi yang sehat dan mendorong inovasi. Kombinasi antara skala ekonomi besar, konektivitas internasional yang kuat, serta efisiensi energi membuat biaya internet di Thailand termasuk paling kompetitif di Asia Tenggara.

Melihat dinamika harga internet per Mbps di Asia Tenggara, terlihat bahwa murahnya tarif bukan semata hasil kemajuan teknologi, melainkan buah dari strategi nasional yang terarah dan konsisten. Thailand dan Singapura menonjol melalui investasi besar dalam jaringan kabel laut dan infrastruktur fiber optic. Malaysia dan Filipina menekan biaya lewat reformasi regulasi serta peningkatan kompetisi pasar. Sementara, Vietnam memaksimalkan efisiensi konstruksi untuk memperluas jangkauan digital ke pelosok negeri. Semua faktor ini berpadu menciptakan ekosistem internet cepat, inklusif, dan berdaya saing tinggi di kancah global.

Sebaliknya, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk memperluas jaringan internet hingga ke wilayah terpencil agar biaya per Mbps bisa ditekan tanpa mengorbankan kualitas. Pemerintah dapat belajar dari praktik terbaik negara tetangga. Mulai dari penguatan backbone, investasi kabel bawah laut, hingga pembangunan pusat data regional. Melalui langkah strategis dan keberlanjutan investasi digital, bukan tidak mungkin Indonesia mampu menyusul Thailand dan Malaysia dalam menghadirkan internet cepat dengan harga yang lebih rasional di masa depan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team