Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Starlink
Starlink (starlink.com)

Intinya sih...

  • Kecepatan Starlink menurun drastis dalam setahun

  • FWA unggul dibandingkan Starlink dalam kualitas koneksi

  • Starlink menunjukkan performa unggul di wilayah Indonesia Timur

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Sebagaimana diketahui, Starlink resmi masuk ke Indonesia pada Mei 2024. Artinya, sudah lebih dari satu tahun Starlink beroperasi di Tanah Air. Elon Musk menjanjikan akan membawa konektivitas ke wilayah yang masih sulit terjangkau internet. Sayangnya, performa Starlink di Indonesia menunjukkan hasil yang jauh berbeda dari ekspektasi awal.

Dalam laporan Opensignal bertajuk "Starlink In Indonesia - One year on" yang ditulis oleh Robert Wyrzykowski pada 8 Oktober 2025, permasalahan konektivitas di Indonesia tidak bisa dipecahkan oleh satu solusi tunggal. Pemerintah mendorong agenda digitalisasi yang lebih luas, rendahnya penetrasi broadband, dan biaya pembangunan infrastruktur di daerah 3T masih menjadi kendala utama. Untuk menjembatani kesenjangan antara daerah perkotaan dan pedesaan, pemerintah mulai mengandalkan teknologi alternatif seperti Fixed Wireless Access (FWA) yang dinilai lebih fleksibel untuk wilayah perkotaan dan semi-urban. Seperti apa rapor Starlink selama satu tahun beroperasi di Indonesia? Berikut hasilnya!

1. Perbandingan kecepatan starlink ketika diluncurkan pertama kali dan saat ini

laporan Opensignal terkait kecepatan FWA yang mengungguli Starlink dalam beberapa indikator (opensignal.com)

Temuan Opensignal menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kecepatan starlink saat diluncurkan pertama kali dan saat ini. Ketika masuk ke Indonesia pada Mei 2024, Starlink menawarkan rata-rata kecepatan unduh sebesar 42 Mbps dan unggah sebesar 10,5 Mbps. Kedua capaian angka ini cukup mengesankan bagi pengguna di luar jangkauan fiber atau 4G.

Dalam beberapa bulan pertama, layanan ini memberikan harapan baru bagi masyarakat di wilayah pelosok yang sebelumnya kesulitan mengakses internet stabil. Namun, tingginya minat masyarakat justru menyebabkan kemacetan jaringan (congestion) yang cukup parah. Hanya dalam waktu 12 bulan, kecepatan unduh Starlink menurun hampir dua pertiga, sementara kecepatan unggah berkurang hampir setengah.

Kondisi tersebut membuat Starlink sempat menghentikan sementara pendaftaran pelanggan baru pada pertengahan 2025. Ketika layanan dibuka kembali pada Juli 2025, perusahaan menerapkan biaya tambahan atau demand surge fee yang mencapai Rp8 juta hingga Rp9,4 juta. Menurut Opensignal, jumlah tersebut setara tiga kali lipat rata-rata gaji bulanan masyarakat Indonesia yang berkisar di angka Rp3,09 juta. Akibatnya, layanan ini belum sepenuhnya inklusif bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

2. FWA unggul telak dibandingkan Starlink

FWA unggul telak dibandingkan Starlink (opensignal.com)

FWA (Fixed Wireless Access) merupakan salah satu inisiatif pemerintah Indonesia dalam mendorong penyediaan layanan telekomunikasi Tanah Air. Namun, kehadiran FWA ini justru menjadi ganjalan untuk Starlink. Data Opensignal menunjukkan Starlink unggul dalam kecepatan unduh dibanding FWA. Namun, Starlink tertinggal di hampir semua indikator lain seperti kecepatan unggah, Consistent Quality, dan Video Experience. FWA mencatat skor kualitas koneksi hampir 50 persen, jauh di atas Starlink yang hanya mencapai 30,9 persen. Meski begitu, peningkatan Consistent Quality Starlink dari 24,2 persen pada 2024 menjadi 30,9 persen pada 2025 menandakan adanya peningkatan dari sisi infrastruktur dan penurunan latensi.

FWA sendiri berkembang pesat berkat operator besar, seperti Telkomsel, XL, dan Indosat Ooredoo Hutchison (IOH). Layanan Orbit milik Telkomsel bahkan tumbuh 31 persen hingga mencapai 1,1 juta pelanggan pada 2023, sedangkan IOH memperkenalkan HiFi Air pada 2024 bersama proyek ekspansi jaringan 4G/5G dengan Nokia. Sebagian besar layanan FWA masih mengandalkan jaringan 4G karena keterbatasan spektrum 5G yang belum merata. Dalam konteks ini, FWA menjadi solusi pragmatis untuk wilayah padat penduduk seperti Jawa dan Sumatra, sementara Starlink mengambil peran strategis di daerah terpencil.

3. Starlink menunjukkan performa unggul di wilayah Indonesia Timur

Starlink menunjukkan performa unggul di wilayah Indonesia Timur (opensignal.com)

Posisi Indonesia sebagai negara kepulauan menjadikan konektivitas satelit seperti Starlink sangat berharga. Opensignal mencatat bahwa Starlink mampu menghadirkan performa yang relatif seragam di seluruh wilayah, termasuk di provinsi terpencil seperti Maluku dan Papua Barat. Sementara itu, FWA lebih berfokus di kawasan barat Indonesia yang padat penduduk, seperti Jawa dan Sumatra, karena faktor biaya dan efisiensi pembangunan infrastruktur menara.

Namun, Starlink masih menghadapi tantangan stabilitas yang signifikan. Meski kecepatan unduh lebih tinggi, Consistent Quality Starlink tertinggal dibanding FWA di semua kategori wilayah. Kesenjangan ini memperlihatkan bahwa Starlink bukanlah pengganti FWA atau fiber, melainkan pelengkap bagi daerah-daerah yang sulit dijangkau jaringan darat. Di sisi lain, pengguna di kota besar tetap menunjukkan minat tinggi terhadap Starlink karena kecepatannya yang mampu melampaui FWA hingga 25 Mbps di beberapa wilayah urban.

4. Regulasi dan persaingan pasar yang rumit

perbandingan FWA dan Starlink dalam hal kecepatan unduh dan unggah (opensignal.com)

Starlink hadir di Indonesia dengan dukungan pemerintah untuk memperluas konektivitas di sektor pendidikan, kesehatan, hingga layanan maritim. Namun, keberadaannya juga dihadapkan pada sejumlah persoalan regulasi dan persaingan pasar. Menurut Opensignal, sebelum diluncurkan resmi pada Mei 2024, Starlink telah memperoleh izin VSAT dan ISP, tetapi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mewajibkan pembangunan Network Operations Center (NOC) lokal agar aktivitas jaringan dapat dimonitor secara langsung.

Selain itu, kebijakan roaming pada paket Jelajah menjadi isu kontroversial. Fitur mobilitas yang memungkinkan pengguna berpindah lokasi dinilai melanggar aturan karena operator fixed broadband dilarang menyediakan roaming di darat, kecuali untuk penggunaan di kapal atau dalam jangka waktu terbatas. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga merekomendasikan agar layanan Starlink dibatasi di wilayah 3T untuk menjaga keseimbangan pasar dengan operator lokal. Namun, data Opensignal menunjukkan sekitar 17,3 persen aktivitas Starlink justru berasal dari wilayah perkotaan sehingga menandakan permintaan yang meluas di luar mandat awalnya.

Setelah satu tahun beroperasi, Starlink terbukti memberikan kontribusi nyata dalam memperluas akses internet di wilayah terpencil Indonesia. Layanan ini menjadi solusi vital di daerah yang sulit dijangkau oleh jaringan serat optik maupun menara seluler. Namun, keberhasilan tentu saja tidak datang tanpa tantangan. Penurunan kecepatan akibat kemacetan jaringan, biaya tinggi bagi pelanggan baru, serta tekanan regulasi masih menjadi hambatan utama dalam ekspansinya.

Ke depan, keberhasilan Starlink di Indonesia akan bergantung pada tiga faktor kunci. Pertama, peningkatan kapasitas jaringan agar mampu menampung permintaan tinggi. Kedua, peningkatan stabilitas performa untuk menjaga pengalaman pengguna. Terakhir, kemampuan menempatkan diri sebagai teknologi pelengkap bagi FWA dan fiber, bukan pesaing langsung. Jika tantangan ini dapat diatasi, Starlink berpotensi memainkan peran penting dalam ekosistem digital Indonesia dan mendukung visi pemerintah menuju pemerataan konektivitas nasional.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team