Waspada! Memanipulasi Angka Speedometer Bisa Dipidana

- Penipuan dalam hukum pidana
- Perlindungan konsumen dan sanksi bagi pelaku usaha
- Pentingnya pembuktian dan jejak rekam servis kendaraan
Praktik memutar atau memalsukan angka pada odometer mobil sering kali dianggap sebagai "trik dagang" biasa oleh oknum penjual kendaraan bekas demi meningkatkan nilai jual. Dengan angka kilometer yang lebih rendah, mobil terlihat lebih segar dan jarang digunakan, sehingga calon pembeli bersedia membayar harga yang jauh lebih tinggi dari nilai pasar yang sebenarnya.
Namun, di balik keuntungan finansial sesaat tersebut, terdapat konsekuensi serius yang mengintai pelaku manipulasi ini. Tindakan tersebut bukan sekadar strategi pemasaran yang agresif, melainkan bentuk kecurangan nyata yang merugikan orang lain secara materiil dan dapat berujung pada jeratan hukum pidana di Indonesia.
1. Jeratan pasal penipuan dalam kitab undang-undang hukum pidana

Tindakan memalsukan angka speedometer secara hukum dikategorikan sebagai bentuk penipuan. Berdasarkan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), siapa pun yang dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, diancam karena penipuan.
Penjual yang secara sengaja mengubah angka odometer untuk mengelabui pembeli agar percaya bahwa kondisi mobil masih sangat baik telah memenuhi unsur "rangkaian kebohongan" dan "tipu muslihat". Jika pembeli merasa dirugikan karena membayar harga yang tidak sesuai dengan kondisi asli mesin yang sudah "lelah", mereka memiliki hak penuh untuk melaporkan pelaku ke pihak kepolisian. Ancaman pidana untuk pasal ini tidak main-main, yakni penjara maksimal empat tahun.
2. Perlindungan konsumen dan sanksi bagi pelaku usaha

Selain KUHP, perlindungan terhadap pembeli juga diatur secara spesifik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Dalam aturan ini, pelaku usaha dilarang memberikan informasi yang tidak benar, tidak jujur, dan menyesatkan mengenai kondisi serta jaminan barang. Manipulasi angka jarak tempuh jelas melanggar hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar atas kondisi barang yang dibeli.
Pasal 62 UUPK memberikan sanksi tegas bagi pelanggar, yakni pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp2 miliar. Hukum ini tidak hanya menyasar individu, tetapi juga pemilik showroom atau diler mobil bekas yang secara sistematis melakukan praktik curang ini. Keberadaan undang-undang ini memastikan bahwa setiap transaksi jual beli harus dilandasi oleh itikad baik dan transparansi data teknis kendaraan.
3. Pentingnya pembuktian dan jejak rekam servis kendaraan

Meskipun secara teori manipulasi ini bisa dipidana, proses hukum membutuhkan pembuktian yang kuat. Pembeli yang merasa tertipu perlu mengumpulkan bukti berupa catatan servis resmi (service record) yang menunjukkan ketidaksinkronan antara angka di dasbor dengan data di bengkel. Misalnya, jika pada tahun 2023 mobil tercatat telah menempuh 100.000 km, namun saat dijual di tahun 2025 angkanya berubah menjadi 50.000 km, maka unsur manipulasi telah terbukti secara nyata.
Pemeriksaan menyeluruh oleh teknisi ahli juga dapat menjadi bukti pendukung, seperti pengecekan tingkat keausan komponen internal yang tidak sesuai dengan angka odometer yang tertera. Dengan bukti-bukti digital dan fisik yang solid, laporan pidana akan memiliki landasan yang kuat. Oleh karena itu, kejujuran dalam menjual kendaraan bukan hanya masalah etika, melainkan kewajiban hukum untuk menghindari tuntutan yang dapat merusak reputasi dan kebebasan seseorang.



















