ilustrasi ekonomi (IDN Times)
Untuk membuat Indonesia menjadi negara yang termasuk lima besar ekonomi dunia, Jokowi mencanangkan Visi 2045 pada 2016 silam. Visi 2045 secara garis besar merupakan cara pemerintah untuk membuat Indonesia mencapai kejayaan pada usia 100 tahun.
Pada 2045 nanti, Indonesia diharapkan memiliki pendapatan per kapita sebesar 30 ribu dolar Amerika Serikat (AS) per tahun.
Selain itu, jumlah penduduk kelas menengah di tahun 2045 diproyeksikan mencapai 82 persen dari total penduduk. Pada saat itu sudah tidak ada lagi penduduk miskin di Indonesia. Seluruh penduduk, yang jumlahnya diperkirakan mencapai 300 juta jiwa sudah merdeka secara ekonomi.
Namun, Piter menilai bahwa proyeksi tersebut kini justru miskin dukungan, bahkan dari pemerintah sendiri terutama ketika telah mengetahui bahwa banyak proyeksi yang jauh dari kenyataan.
"Untuk mewujudkan visi 2045, ekonomi Indonesia selama periode 2016-2045 harus mampu untuk tumbuh rata-rata 5,7 persen. Sementara seperti kita ketahui selama periode 2016-2020 ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh rata-rata 3,65 persen per tahun," tutur dia.
Pandemik COVID-19 pun kemudian membuatnya semakin parah lantaran membuat pertumbuhan ekonomi terkontraksi hingga 2,07 persen pada 2020 silam.
Tugas pemerintah pun menjadi semakin berat untuk mewujudkan Visi 2045 sebab rerata pertumbuhan ekonomi yang mesti dicapai pemerintah tiap tahunnya adalah 7,75 persen, terhitung sejak 2021 hingga 2045 nanti.
"Dengan masih tingginya kasus COVID-19 saat ini dan perekonomian masih terbatasi oleh pembatasan mobilitas, rasanya mustahil untuk bisa mengejar pertumbuhan ekonomi 7,75 persen pada tahun 2021. Peluang pertumbuhan ekonomi rata-rata 7,75 persen hingga tahun 2045 semakin jauh dari harapan," kata Piter.
Pertumbuhan ekonomi bukan satu-satunya masalah buat pemerintah dalam mewujudkan Visi 2045. Di sisi lain, reformasi struktural masih menjadi wacana, pemanfaatan bonus demografi hanya menjadi bahan seminar belaka, dan penciptaan lapangan kerja justru semakin minim di tengah tingginya pertumbuhan angkatan kerja.
Hal tersebut, kata Piter, semakin diperparakan dengan daya saing industri yang seperti berjalan di tempat sebagai imbas dari minimnya terobosan-terobosan baru dari kementerian.