TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mengenal Sosok Eddi Danusaputro, CEO Mandiri Capital Indonesia

Eddi sudah berkarier di Singapura selama 12 tahun

Instagram/@eddidanu

Surabaya, IDN Times - IDN Times menggelar Indonesia Millennial Summit 2019. Acara bertema "Shaping Indonesia's Future" ini dilangsungkan di Grand Ballroom Hotel Kempinski, Jakarta, pada 19 Januari 2019.

IMS 2019 menghadirkan lebih dari 50 pembicara kompeten di berbagai bidang, dari politik, ekonomi, bisnis, olahraga, budaya, lintas agama, sosial, lingkungan sampai kepemimpinan millennials. Ajang millennials terbesar di Tanah Air ini akan dihadiri 1.500-an pemimpin millennials.

Salah satu tokoh penting yang akan hadir dalam IMS 2019 adalah CEO Mandiri Capital Indonesia (MCI), Eddi Danusaputro. Sarjana Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada ini dipercaya sebagai CEO MCI, perusahaan modal ventura di bawah naungan Mandiri Group, yang menjembatani antara investor dan wirausaha di industri teknologi finansial (financial technology/fintech).

Melalui MCI inilah Eddi ingin menciptakan ekosistem fintech yang menunjang bisnis Grup Mandiri dan anak usahanya. Dia bersama MCI mencari inovasi platform, produk, layanan yang bisa membantu kinerja dalam bentuk efisiensi dan kenaikan revenue Grup Mandiri.

Lantas seperti apa sepak terjang Eddi hingga akhirnya dia bisa memimpin MCI? Simak artikel di bawah ini.

1. Eddi 12 tahun berkarier di Singapura

Instagram/@eddidanu

Penyandang gelar Doktor Ilmu Manajemen dari Universitas Indonesia ini, berkarier di lembaga pengelola dana dan konsultan keuangan di Singapura. Eddi menghabiskan waktu 12 tahun berkarier di Negeri Singa.

Mayoritas perusahaan tempatnya kerja di Singapura merupakan fund management yang mengelola dana nasabah dalam bentuk micro fund, hedge fund, provate equity, seperti Morgan Stanley, AXA, Makara Capital, Booz Allen Hamilton, dan AT Kearney.

Setelah berpetualang di Singapura, peraih gelar MBA dari Duke University, Amerika Serikat ini, memutuskan kembali ke Indonesia. Alasan Eddie kembali ke Tanah Air karena dia melihat Indonesia telah memiliki infrastruktur, infestor, startup, dan mulai banyak perusahaan yang diinvestasi. Dia kemudian diberi kepercayaan menjadi CEO MCI pada 2016.  

2. Krisis ekonomi 2008 membuat Eddi belajar menggeluti private investment

Instagram/@eddidanu

Terjadinya krisis ekonomi pada 2008-2009 membuat Eddi mulai tertarik dengan dunia investasi. Dia melihat, saat krisis moneter  banyak pengusaha dengan kekuatan uang dan mempunyai kemampuan, bisa membeli saham perusahaan publik melalui pasar modal. Kendati, tidak banyak orang bisa beli aset yang riil. 

Atas dasar itu, Eddi lalu berpikir menekuni investasi pada perusahaan privat yang biasanya dimiliki keluarga atau milik founder. "Itulah yang bikin saya pivot ke private equaty dan sekarang ke venture capital," kata dia.

3. Eddi yang suka belajar pada anak buah

Instagram/@eddidanu

Untuk belajar tentang private investment, selain belajar dari buku, Eddi juga tidak sungkan belajar pada anak buahnya. Dia bercerita sebagai seseorang yang berada di level middle management atau senior management mempunyai kewenangan merekrut orang-orang untuk jadi anggota timnya. 

Eddi biasanya merekrut orang-orang yang memiliki kompetensi tinggi di private equaty ataupun venture capital. Ketika memiliki anak buah yang punya kompetensi lebih itulah, dia biasanya mengajak diskusi anak buahnya untuk belajar. 

"Belajar dari anak buah bukan hal yang tabu, bahkan sebagai sesuatu yang besar," kata dia. 

4. Eddi menyebut millennials nyaman menggunakan startup

pexels.com/rawpixels.com

Sejak memimpin MCI pada 2016, Eddi memprioritaskan investasi MCI di perusahaan fintech. Menurutnya, layanan keuangan dan industri perbankan Indonesia terkena disrupsi digital dari industri fintech. 

Industri fintech itu menyedot minat konsumen, karena menawarkan pelayanan yang lebih cepat dan kemudahan jika dibandingkan  perbankan. Alasan itulah yang menurut Eddi menjadi dasar pendirian MCI untuk menyokong bisnis Grup Mandiri, agar bisa bersaing dengan perusahaan fintech yang menyedot minat masyarakat untuk mendapatkan layanan keuangan di platform digital.

Alasan lainnya, menurut Eddi, saat ini banyak generasi millennial, generasi Y dan Z, dalam hal industri dan produk keuangan, tidak selalu harus menggunakan bank. Mereka, lebih nyaman menggunakan jasa startup. 

Tak hanya itu, Eddi melanjutkan, fintech dinilai sebagai startup yang sangat prospektif dan tumbuh menjadi sesuatu yang dibutuhkan Indonesia. 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya