Kejar Target Bauran Energi 25 Persen, Asia Tenggara Butuh Kerja Sama
Transisi energi di Asia Tenggara butuh kerja sama negara
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan untuk mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025 di kawasan Asia Tenggara memerlukan kerja sama yang kuat antarnegara di kawasan.
Kerja sama ini penting untuk mendorong transisi energi yang berkelanjutan serta mengalihkan investasi dari bahan bakar fosil di kawasan ini ke energi terbarukan. Hal tersebut disampaikan dalam webinar berjudul Status Transisi Energi di Asia Tenggara Jumat, (29/7/2022).
“Banyak negara di kawasan Asia Tenggara yang masih bergantung pada energi fosil seperti batubara, gas dan minyak. Sementara Asia Tenggara merupakan kawasan yang rentan terhadap dampak krisis iklim. Upaya kolaboratif untuk beralih dari energi fosil ke energi terbarukan di kawasan ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada usaha global mencapai tujuan Persetujuan Paris,” kata Fabby melalui keterangan tertulis yang diterima IDN Times pada Senin (1/8/2022).
Baca Juga: UGM Mulai Kegiatan Belajar Mengajar Bauran untuk Semua Mahasiwa
Baca Juga: Jadi Perusahaan Energi Global, Pertamina Prioritaskan Transisi Energi
1. Indonesia hanya akan mencapai 15 persen bauran energi terbarukan pada 2025
Indonesia sendiri mempunyai target 23 persen bauran energi baru terbarukan di tahun 2025 dan 31 persen di 2030. Namun, menurut Senior Researcher on Renewable Energy Institute for Essential Service Reform (IESR), Handriyanti Puspitarini, mengatakan berdasarkan kajian IESR jika tidak ada perbaikan kebijakan, maka Indonesia hanya akan mencapai 15 persen bauran energi terbarukan di 2025 dan 23 persen di 2030.
“Jika melihat tren dari 2013-2021, pangsa energi terbarukan meningkat meski lambat. Padahal berdasarkan kajian IESR, Indonesia punya potensi teknis energi terbarukan lebih dari 7.000 GW. Sedangkan yang sudah dimanfaatkan hanya 11,2 GW saja,” kata Handriyanti.
Ia menilai lamanya pengurusan izin dan rumitnya mekanisme pengadaan proyek energi terbarukan di Indonesia membuat para investor enggan berinvestasi di Indonesia.
“Indonesia perlu meningkatkan aspek politik, aturan kebijakan dan finansial untuk mendorong pengembangan energi terbarukan yang lebih masif, terutama berdasarkan hasil kajian IESR, kesadaran publik terhadap transisi energi dan perubahan iklim mulai meningkat,” ucapnya.
Baca Juga: Jadi Perusahaan Energi Global, Pertamina Prioritaskan Transisi Energi
Baca Juga: Jadi Perusahaan Energi Global, Pertamina Prioritaskan Transisi Energi