TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Cegah Subsidi BBM Membengkak, Pengamat Sarankan 3 Cara Ini

Pemberian subsidi harus pertimbangkan daya beli masyarakat

Ilustrasi - SPBU Pertamina (IDN Times/Ridwan Aji Pitoko)

Jakarta, IDN Times - Sejumlah negara di dunia saat ini tengah menghadapi krisis energi global, tidak terkecuali Indonesia. Pemerintah pun dihadapkan pada dilematis antara subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) atau menaikkannya.

Menurut Undang Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, landasan pemberian subsidi energi harus tepat sasaran.

Merujuk Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2021 tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran BBM di Indonesia, dalam ayat delapan disebutkan subsidi sesuai dengan kemampuan keuangan negara.

Selain itu pemberian subsidi juga mempertimbangkan daya beli masyarakat dan ekonomi nasional, sehingga subsidi BBM harus terefleksi kemampuan keuangan negara, memperhatikan daya beli masyarakat, dan harus tepat sasaran.

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy
Radhi, menyebutkan setidaknya ada tiga cara yang bisa dijalankan pemerintah untuk mengurangi beban subsidi energi. Apa saja itu?

Baca Juga: Subsidi dan Kompensasi BBM Bisa Membengkak Jadi Rp698 Triliun

Baca Juga: APBN Ngos-ngosan untuk Tambah Subsidi BBM Rp195 Triliun

1. Menyerahkan penetapan harga BBM ke Pertamina

Ilustrasi pengisian BBM di SPBU. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Pertama, untuk mengurangi kompensasi, Fahmy menyarankan agar pemerintah menyerahkan urusan penetapan harga kepada Pertamina untuk BBM jenis nonsubsidi Pertamax, Pertamax Turbo, dan di atasnya. Dengan begitu, harga BBM tersebut bisa ditetapkan sesuai dengan harga keekonomian.

Adapun saat ini harga BBM nonsubsidi dijual tidak dengan harga keekonomian. Artinya, pemerintah menanggung selisih harga jualnya.

Pada 2022, pemerintah mematok subsidi BBM Rp502,4 triliun yang terdiri dari subsidi energi Rp208,9 triliun dan kompensasi energi sebesar Rp 293,5 triliun.

Saat ini subsidi pertalite hanya tersisa 6 juta kiloliter dari 23 juta kiloliter subsidi yang disepakati hingga akhir 2022. Pemerintah memperkirakan jumlah pertalite tersebut akan habis pada Oktober 2022, sehingga perlu adanya tambahan volume BBM subsidi, termasuk subsidi untuk solar yang volumenya terus mengalami peningkatan.

"Subsidi yang besar membuat tidak hanya berdampak bagi negara tapi juga Pertamina. Kenaikan harga minyak global berdampak signifikan terhadap biaya pokok penjualan (cost of sales & operating expenses) Pertamina sehingga mengalami kenaikan signifikan mencapai 41 persen," kata Fahmy seperti dikutip dalam keterangan tertulisnya, Selasa (30/8/2022).

Dari sudut pandang perseroan, piutang PSO perusahaan juga relatif besar, yaitu Rp5,87 triliun sepanjang 2021 sehingga inisiatif pengurangan subsidi dapat mengurangi piutang PSO.

2. Pertamina harus batasi penjualan pertalite dengan lebih tepat sasaran

Ilustrasi SPBU, Pertamax, Pertalite (IDN Times/Shemi)

Pertamina harus membatasi penjualan pertalite dengan hanya mengizinkan pelanggan yang tepat sasaran untuk bisa membelinya. Namun rencana BUMN migas mewajibkan aplikasi MyPertamina demi membatasi Pertalite dinilai bakal sulit diaplikasikan di lapangan.

Sebab, kata Fahmy, Pertamina sebelumnya harus menetapkan kriteria penerima BBM bersubsidi dan hal ini akan rumit di lapangan. Apalagi penggunaan gawai dan jaringan internet di daerah, khususnya daerah terpencil, terkadang masih sulit.

Dia mengaku belum tahu persis kriteria penerima subsidi BBM dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014 yang sedang dibahas.

"Entah itu berdasarkan cc atau tahun kendaraan, atau harga kendaraan. Sulit sekali menentukan kriteria tadi, dan barangkali bisa beda penafsiran di lapangan,” tuturnya.

Baca Juga: Subsidi BBM-Elpiji Rp502 Triliun Bisa Buat Bangun Tol 3.500 Km

3. Hapus BBM jenis premium

Ilustrasi pengisian BBM. (ANTARA FOTO/Novrian Arbi)

Saran ketiga, kata Fahmy, adalah dengan menghapus BBM jenis Premium. Saat ini Premium hanya tersedia di luar Jawa, Madura, dan Bali, tetapi jumlahnya konsumsi dan impor subsidinya masih besar.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya