TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Catatan Jilid I Jokowi, Pertumbuhan Ekonomi Masih Jauh dari Angan

Jokowi masih punya banyak PR di periode selanjutnya

IDN Times/Arief Rahmat

Jakarta, IDN Times - Joko "Jokowi" Widodo membawa harapan besar saat pertama kali terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia. Bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla, salah satu angan terbesar Jokowi adalah membawa ekonomi Indonesia tumbuh di angka 7-8 persen.

Tidak salah, Jokowi memasang target tinggi terhadap capaian perekonomian Indonesia. Namun, target itu dikritik para ekonom. Mantan Wali Kota itu dianggap terlampau optimistis lantaran tidak memasang target yang lebih moderat. Apalagi, saat itu adalah periode pertamanya sebagai nahkoda bangsa Indonesia.

Kini, Jokowi bakal segera memasuki periode keduanya sebagai Presiden Republik Indonesia. Pada Minggu (20/10) besok, Jokowi dan Ma'ruf Amin bakal dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024.

Jokowi harus mengakui bahwa pada periode pertamanya, realisasi pertumbuhan ekonomi jauh dari angan. Sebab, sepanjang 2015-2019 pertumbuhan ekonomi hanya stabil berada di kisaran 5 persen.

Setahun ia menjabat, yakni pada 2015, ekonomi tumbuh 4,79 persen. Itu melambat dibanding 2014 di mana perekonomian tumbuh sebesar 5,02 persen. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia tumbuh lambat. Pada 2016, ekonomi tumbuh 5,02 persen. Pada 2017 pertumbuhannya tercatat sebesar 5,07 persen. Setahun berselang, angkanya baru naik signifikan, menjadi 5,17 persen.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, pertumbuhan ekonomi era Presiden Jokowi jauh dari harapan. Bhima juga membandingkan capaian tersebut dengan era Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Selama dua periode kepemimpinan SBY, pertumbuhan ekonomi mampu tumbuh di kisaran 5-6 persen. Pencapaian tertinggi pada 2011 sebesar 6,5 persen dan terendah pada 2009 dengan pertumbuhan ekonomi 4,5 persen. Pada saat itu, SBY diuntungkan dengan meningkatnya harga komoditas global. Hal itu berimbas pada sektor lainnya.

"Jauh di bawah SBY ya, Padahal era SBY ada krisis Century. Jadi ekonomi kita tanpa campur tangan pemerintah pun harusnya tumbuh di atas 5 persen," kata Bhima kepada IDN Times, Sabtu (19/10).

Stimulus ekonomi lewat pembangunan infrastruktur dan program dana desa dinilai Bhima tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. "Jadi ada yang kurang ideal dalam pengelolaan ekonomi saat ini," tambah dia.

Baca Juga: 4 Sektor Ini Jadi Dalang Ekonomi Indonesia 2019 Tidak Capai Target 

1. Gejolak perekonomian global turut memberi dampak

AFP/Mark Ralston

Meksi begitu, Bhima juga tak memungkiri tekanan perekonomian global ikut mempengaruhi. Di sisi lain, kebijakan pasca-tax amnesty serta pencabutan subsidi tahun 2015-2017 bikin laju pertumbuhan ekonomi terhambat.

"Jadi faktor itu ikut mempengaruhi daya beli masyarakat," ungkap dia.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai capaian pertumbuhan ekonomi di periode pertama Jokowi kurang baik. Meski begitu, menurutnya, apa yang dicapai Jokowi tidak buruk.

"Masalahnya kita membandingkan dengan potensi kita, maka bisa lebih (pertumbuhannya), kalau dibandingkan dengan negara tetangga ya kita lebih tinggi pertumbuhan ekonominya, tapi kan mereka lebih maju," tutur Faisal.

Data Trading Economics mencatat pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2019 di Singapura hanya sebesar 0,1 persen. Angka itu jauh melambat dibandingkan kuartal I 2019 yang sebesar 1,1 persen. Tidak hanya Singapura, Thailand juga melambat dari 2,8 persen pada kuartal I 2019 menjadi 2,3 persen pada kuartal II 2019.

"Menurut saya ada faktor eksternal yang menekan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Sehingga tidak bisa naik dari 5 persen," imbuhnya.

2. Penyebab pertumbuhan ekonomi stagnan 5 persen

IDN Times/Arief Rahmat

Faisal menjelaskan, Indonesia punya potensi besar dalam menggenjot pertumbuhan ekonominya. Salah satunya lewat industri manufaktur. Industri tersebut dianggap bisa jadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi.

"Tapi dia harus lebih tinggi petumbuhannya (industri) dari pertumbuhan ekonomi agar bisa meningkatkan. Karena dia menciptakan nilai tambah dan menciptakan lapangan kerja yang masif khususnya untuk sektor formal," jelas dia.

Faisal menilai pemerintah Indonesia kurang serius dalam membangun industri manufaktur. Padahal, potensi yang ada saat ini cukup besar. Indonesia bisa meniru kesuksesan Korea Selatan dalam membangun industri manufaktur mereka.

Dari sisi pemerintah, kebijakan Jokowi-JK selama satu periode memimpin juga dianggap belum mendukung industri tersebut. Sebut saja insentif dalam paket kebijakan ekonomi seperti pengurangan harga listrik dan gas untuk industri manufaktur yang efeknya belum dirasakan secara merata.

"Pengusaha industri manufaktur kesulitan bahan baku dari dalam negeri atau luar negeri, kemudian dari sisi logistik mahal, ekspor prosedurnya susah. Jadi ini agak mengganggu," ungkap Faisal.

Baca Juga: Sektor Ekonomi, Menteri yang Paling Sering Diganti Jokowi 

3. Kinerja manufaktur RI

ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya

Bank Indonesia (BI) mencatat kinerja sektor industri pengolahan pada kuartal III 2019 masih berpotensi tumbuh meski melambat. Hal itu tercermin dari Prompt Manufacturing Index (PMI) Bank Indonesia sebesar 52,04 persen sedikit lebih rendah daripada 52,66 persen pada triwulan II 2019.

Perlambatan ekspansi ini diperkirakan bakal terus berlangsung hingga triwulan IV 2019. Bank Indonesia memperkirakan pada triwulan empat 2019 PMI-nya hanya sebesar 51,90 persen atau lebih rendah daripada triwulan sebelumnya.

Perlambatan ekspansi usaha diperakirakan terjadi pada beberapa sub sektor seperti Industri Tekstil, Barang Kulit dan Alas Kaki; Industri Kertas dan Barang Cetakan; Industri Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet, serta Industri Semen dan Barang Galian Non-Logam.

4. Pengembangan industri manufaktur terkendala teknologi

IDN Times/Arief Rahmat

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan bahwa keinginan pemerintah untuk mengembangkan industri manufaktur terkendala oleh teknologi. Menurut Bambang, Indonesia pernah mencoba mengembangkan industri manufaktur dari sektor industri perkapalan sejak 1970.

Sayangnya, upaya itu gagal. Menurut mantan Menteri Keuangan ini, kegagalan itu dipicu oleh ketersediaan bahan baku, teknologi dan sumber pembiayaan.

"Yang menjadi masalah bagi presiden adalah hari ini industri kapal kita masih struggling, PT PAL kadang-kadang masih harus disuntik dengan PMN (penyertaan modal negara) dan kita juga masih ada impor kapal yang belum bisa kita buat sendiri," kata Bambang di Bappenas belum lama ini.

IDN Times/Arief Rahmat

Baca Juga: Ini Capaian Pembangunan Ekonomi Jokowi di Periode Pertama

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya