TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

[KALEIDOSKOP] Menanti Pajak Karbon untuk Penanganan Krisis Iklim

Pajak karbon akan diterapkan 1 April 2022

Ilustrasi Pajak Karbon (IDN Times/Aditya Pratama)

Jakarta, IDN Times - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, menyebut Indonesia membutuhkan sekitar satu triliun dolar AS atau sekitar Rp14,2 ribu triliun (kurs Rp14.296) untuk transisi dari energi fosil ke energi terbarukan hingga 2060.

"Transisi energi memerlukan investasi yang sangat besar. Total investasi sektor kelistrikan diproyeksikan sebesar satu triliun dolar AS pada 2060 atau 25 miliar dolar AS per tahun (Rp357,6 triliun)," kata Arifin dalam acara 'Indonesia Energy Transition Outlook 2022' oleh IESR Indonesia, Selasa (21/12/2021).

Salah satu cara yang diambil pemerintah dalam penanganan iklim adalah penerapan pajak karbon, yang lahir melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pemerintah akan mulai memberlakukan pajak karbon pada 1 April 2022, setelah mengumumkannya pada Oktober 2021.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, mengatakan penerapan pajak karbon menjadikan Indonesia penggerak pertama pajak karbon di dunia terutama dari negara kekuatan ekonomi baru.

"Dengan memperkenalkan pajak karbon, Indonesia menjadi bukti bagi masyarakat dan dunia luar bahwa pemerintah berkomitmen menggunakan berbagai instrumen fiskal untuk membiayai pengendalian perubahan iklim sebagai agenda prioritas pembangunan," kata Febrio dalam keterangan tertulisnya.

Meski begitu, pajak karbon tidak lepas dari pro kontra selama tahun lalu. Berikut ini kaleidoskop selama 2021.

Baca Juga: Pajak Karbon Bikin Harga LPG dan BBM Naik, Siapa yang Dirugikan?

1. Tujuan pajak karbon

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati (youtube.com/sekretariatpresiden)

Tujuan pertama pajak karbon adalah mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon. Kebijakan pajak karbon akan sejalan dengan upaya pemerintah mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.

Tujuan kedua adalah memberikan sinyal kuat yang mendorong perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi, investasi yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan.

"Penerimaan negara dari pajak karbon dapat dimanfaatkan untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, atau memberikan dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial," kata Febrio, Rabu (13/10/2021).

2. Tahap awal penerapan pajak karbon

IDN Times/Kevin Handoko

Febrio memaparkan, pada tahap awal, pajak karbon akan diterapkan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara pada 1 April 2022 dengan menggunakan mekanisme pajak berdasarkan pada batas emisi (cap and tax). Tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan.

"Dalam mekanisme pengenaannya, wajib pajak dapat memanfaatkan sertifikat karbon yang dibeli di pasar karbon sebagai pengurang kewajiban pajak karbonnya," ucapa Febrio.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon dengan minimal tarif Rp30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).

“Kalau di pasaran dunia harganya itu sudah di atas 40 dolar AS, bahkan Kanada akan menaikkan mencapai di atas 125 dolar AS sampai 2030 nanti,” ujarnya.

Nantinya pada 2025, pemerintah akan mengimplementasikan perdagangan karbon secara penuh melalui bursa karbon. Kedua, pemerintah akan memperluas sektor pemajakan pajak Karbon dengan pentahapan sesuai dengan kesiapan sektor.

Terakhir, pada 2025 nanti, pemerintah akan mengatur penetapan aturan pelaksanaan tata laksana pajak karbon untuk sektor lainnya.

3. Belum pasti digunakan untuk kepentingan iklim

Ilustrasi Pajak Karbon (IDN Times/Aditya Pratama)

Meski begitu, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengatakan belum ada jaminan pajak karbon sepenuhnya digunakan untuk menurunkan emisi karbon.

"Iya, belum ada jaminan (digunakan untuk penurunan emisi) karena harapan kita juga seperti itu. Belum ada berapa persen dari pajak tersebut untuk perubahan iklim," kata Dadan saat dihubungi IDN Times, Sabtu (16/10/2021).

Dalam terminologi pajak, kata Dadan, apa pun jenisnya akan masuk dalam rekening negara dan dipergunakan untuk semua kegiatan belanja negara. Uang pajak dicampur dan tidak bisa ditandai mana yang akan dialokasikan untuk kegiatan tertentu.

Meski demikian, kata Dadan, pemerintah sudah menyebut hal tersebut dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) BAB VI Pasal 13 ayat 12 yang berbunyi:

"Penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim," tulis pasal tersebut.

"Kita sama-sama dorong logisnya dimanfaatkan ke sana (perubahan iklim) karena tujuannya tidak semata-mata untuk pendapatan negara," ujar Dadan.

Dalam kesempatan terpisah, Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Kemenkeu, Pande Putu Oka Kusumawardani, membenarkan bahwa pajak karbon akan masuk dalam APBN. Sebab, alokasi APBN untuk perubahan iklim masih terlampai kecil, yakni hanya 4,1 persen.

"Sekitar 4,1 persen pengeluaran dari APBN selama lima tahun terakhir kita alokasikan untuk membantu penanganan atau membantu mitigasi perubahan iklim," ucap Oka.

Sri Mulyani pernah mengeluhkan kecilnya angka tersebut dan menganggapnya masih belum cukup untuk berperan dalam menangani isu climate change atau perubahan iklim.

4. Realita pajak karbon di negara OECD

ilustrasi pajak karbon atau carbon tax (itep.org)

Alokasi pajak karbon pun patut diperhatikan. Sebab, berdasarkan hasil studi Fraser Institute, 74 persen penggunaan dana hasil pajak karbon di negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) justru lari ke belanja umum yang tidak berkorelasi dengan penurunan emisi karbon. Hanya 12 persen penerimaan pajak karbon yang dialokasikan khusus untuk lingkungan hidup.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengingatkan pemanfaatan hasil penerimaan pajak karbon sebaiknya tidak digunakan untuk belanja umum.

"Masyarakat perlu mengawasi juga jangan sampai pajak karbon buat bayar bunga utang atau bayar belanja pegawai yang tidak ada kaitannya dengan penurunan emisi karbon. Aturan detailnya perlu sama sama dikawal dalam PP atau pun Permen," kata Bhima kepada IDN Times.

Baca Juga: COP26: Uni Eropa Minta Semua Negara Terapkan Pajak Karbon

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya