RI Ajak Negara Produsen Sawit Lainnya Lawan Diskriminasi Uni Eropa
Uni Eropa berencana hentikan konsumsi minyak kelapa sawit
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Indonesia terus menyusun strategi untuk melawan diskriminasi terhadap produk minyak kelapa sawit (crude palm oil) yang dilakukan oleh Uni Eropa. Tindakan diskriminasi yang dimaksud yakni mematok tarif yang lebih tinggi dibandingkan produk minyak nabati lainnya. Akibatnya, harga CPO Indonesia tidak kompetitif di pasar Eropa.
Maka, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartanto mengaku Indonesia tidak akan membiarkan hal itu terus berlangsung. Kebijakan yang dilakukan oleh UE dinilai sebagai bentuk hambatan perdagangan baru.
"Tentu Uni Eropa ini meningkatkan trade barrier dengan mencoba merumuskan standar yang lebih tinggi lagi. Jadi, hal seperti ini tidak bisa kita biarkan," ungkap Airlangga ketika ditemui di Hotel Grand Sahid pada Jumat (7/2) lalu.
Salah satu strategi yang dibuat yakni dengan menggalang kekuatan bersama negara-negara lain yang turut menjadi produsen CPO. Kini aliansi itu sudah terbentuk dan diberi nama Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC). Sebelumnya, Indonesia juga sudah resmi mengajukan gugatan ke organisasi perdagangan PBB, WTO karena UE dianggap telah melakukan diskriminasi terhadap produk kelapa sawit RI. Gugatan sudah disampaikan secara resmi pada Desember 2019 lalu melalui perwakilan Indonesia di Jenewa, Swiss.
Lalu, kebijakan apa yang hendak dibuat oleh CPOPC agar produk kelapa sawit bisa menembus pasar Eropa tanpa menemui penghalang perdagangan?
Baca Juga: Perjuangkan Nasib Kelapa Sawit, Pemerintah RI Gugat Uni Eropa di WTO
1. Indonesia dan negara anggota CPOPC perlu berdiskusi mengenai standar global minyak kelapa sawit berkelanjutan
Menurut Airlangga, salah satu yang menjadi penghambat untuk menghadapi Uni Eropa yakni negara anggota CPOPC belum mengimplementasikan standar global untuk minyak kelapa sawit berkelanjutan atau roundtable on sustainable palm oil (RSPO). Menteri yang juga ketua umum Partai Golkar itu menyebut Indonesia dan Malaysia masing-masing memiliki standar tersendiri.
"Kita tidak bisa menghadapi Eropa dengan multiple standar seperti sekarang ini. Indonesia masih pakai standar ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil), sedangkan Malaysia pakai MSPO (Malaysian Sustainable Palm Oil). Jadi, CPOPC harus menentukan standar dulu," kata dia.
Baca Juga: Ini Fokus Airlangga Hartarto sebagai Menko Perekonomian Anyar