Peringkat Indeks Ketahanan Pangan Global Indonesia Turun, Mengapa?
Eliminasi tarif dapat meningkatkan konsumsi rumah tangga
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Posisi Indonesia dalam Indeks Ketahanan Pangan Global 2020 (Global Food Security Index 2020) turun dari posisi 62 ke posisi 65, dari total 113 negara. Tidak hanya posisi dalam indeks, posisi Indonesia dalam beberapa indikator juga tidak terlalu bagus.
Indonesia berada di posisi ke-55 pada indikator keterjangkauan, posisi ke-34 pada kategori ketersediaan serta posisi ke-89 pada kategori kualitas dan keamanan. Negara tetangga yaitu Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam berada di posisi 20, 43, 51 dan 63.
"Turunnya posisi Indonesia dalam indeks ini mencerminkan masih perlunya upaya keras untuk mencapai ketahanan pangan," ungkap Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta dalam keterangan tertulis, Minggu (14/3/2021).
Pandemik COVID-19 menyebabkan perubahan pada pola interaksi manusia. Hal ini menyebabkan disrupsi pada sektor ekonomi lantaran sebagian masyarakat kehilangan mata pencahariannya.
"Untuk memastikan masyarakat dapat mengakses komoditas pangan dengan harga terjangkau, ketersediaan pasokan yang cukup perlu jadi fokus pemerintah," kata Felippa.
Baca Juga: Gegara Pandemik, Harga Pangan 3 Kota Ini Termahal di Dunia
1. Kebijakan perdagangan pangan Indonesia proteksionis dan tidak terbuka
Posisi Indonesia dalam Global Food Security Index mengindikasikan belum terpenuhinya beberapa pilar dalam ketahanan pangan. Berdasarkan definisi Food and Agriculture (FAO), terdapat empat pilar dalam ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, akses atau keterjangkauan (baik secara fisik dan ekonomi), utilisasi atau keragaman (gizi, nutrisi dan keragaman) dan stabilitas atau keberlangsungan.
Menurut Felippa, kebijakan perdagangan pangan Indonesia selama ini cukup proteksionis dan kurang terbuka. Indonesia memberlakukan hambatan tarif maupun nontarif untuk impor pangan. Di antaranya pengenaan pajak, sistem kuota, ketentuan pengemasan, regulasi yang panjang dan tidak sederhana.
Hambatan tarif menambahkan tarif impor rata-rata untuk produk pangan sebesar 6,39 persen pada 2018. Sementara, hambatan nontarif menyebabkan adanya tarif sebesar 41 persen pada kegiatan-kegiatan penambah nilai di seluruh rangkaian rantai pasokan.
Selain itu, dia menyebut ada monopoli beberapa komoditas karena impor hanya bisa dilakukan oleh perusahaan BUMN yang ditunjuk pemerintah.
"Padahal, menghilangkan hambatan pada perdagangan pangan sangat penting untuk memastikan tercapainya ketahanan pangan, tidak hanya selama pandemi COVID-19," kata Felippa.
Baca Juga: Waspada! Pandemik Ancam Ketahanan Pangan Negara karena 5 Hal Ini
Baca Juga: Usaha Bidang Pangan Jadi Sektor Paling Potensial untuk Berkembang