TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pulihkan Ekonomi, Chatib Basri: Fokus ke BLT, Bukan Keringanan Kredit!

Kuncinya genjot penyerapan anggaran belanja pemerintah

Ilustrasi pasar. (IDN Times/Wira Sanjiwani)

Jakarta, IDN Times - Ekonom senior Chatib Basri menyoroti kebijakan pemerintah dalam penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi. Menurutnya, kebijakan insentif keringanan kredit maupun suku bunga tidak akan signifikan dalam mendongkrak ekonomi masyarakat. 

Analisis tersebut berlandaskan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis pada 9 Agustus lalu. Sebanyak 69 persen masyarakat menilai kondisi ekonomi rumah tangga sekarang lebih buruk dibanding sebelum wabah.

"Konsisten dengan hasil SMRC, Google Mobility Index juga menunjukkan aktivitas melompat tajam akhir Mei, lalu cenderung flat sejak Juni," ujar Chatib melalui akun Twitter-nya @ChatibBasri, Selasa (11/8/2020).

Menurutnya, ketika konsumsi rumah tangga dan investasi anjlok, belanja pemerintah jadi kunci untuk mencegah pertumbuhan ekonomi minus. Namun, masalahnya penyerapan anggaran belanja itu pun lambat.

Oleh sebab itu, menurut Chatib, pemerintah harus mengarahkan stimulus kepada sektor yang penyerapannya tinggi seperti bansos, terutama bantuan langsung tunai (BLT). Sebab, fokus kebijakan dalam jangka pendek adalah mengatasi wabah dan mendorong permintaan. 

"Baru setelah situasi kembali normal, penurunan bunga, penjaminan kredit, insentif usaha akan efektif. Karena itu kebijakan harus dibuat dalam sequence dan data dependence," kata Chatib.

Baca Juga: Chatib Basri: Kelas Menengah Juga Perlu Dapat Bansos

1. Pembukaan kegiatan ekonomi tidak efektif selama pandemik belum bisa dikendalikan

Dok.IDN Times/Google Mobility Index

Chatib mengatakan pembukaan kembali ekonomi memang mendorong pembalikan ekonomi secara tajam. Namun, kata dia, setelah itu efeknya mereda dan tak memperbaiki keadaan. Menurut Chatib, selama pandemik masih belum bisa dikendalikan, protokol kesehatan harus tetap diterapkan.

"Selama itu pula ada pembatasan volume atau skala ekonomis. Jika skala ekonomis tidak terpenuhi, perusahaan akan merugi. Tidak ada insentif untuk ekspansi usaha. Selama pandemik belum bisa dikendalikan, kelas menengah atas tetap menunda konsumsi," tuturnya.

2. Tabungan naik tajam, namun kredit menurun

Dok.IDN Times/Bank Indonesia

Chatib juga menunjukkan data Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Pertumbuhan dana pihak ketiga cenderung stabil. Namun, peningkatan demand deposit yang diikuti penurunan deposito berjangka mengindikasikan tingginya likuiditas di sistem perbankan.

"Data ini menunjukkan tabungan naik tajam sejak Februari 2020 dan kredit menurun. Kredit menurun karena permintaan lemah. Untuk apa ekspansi usaha jika tidak ada permintaan?" kata Chatib.

Chatib menambahkan, kelas menengah atas menunda belanjanya mungkin karena kekhawatiran pandemik atau investasi ke aset kelas lain. Sementara, kelas menengah bawah tidak memiliki cukup uang dan tabungan.

Baca Juga: Chatib Basri Prediksi Pemulihan Ekonomi Terjadi di Semester I 2021 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya