TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Begini Kondisi Lebanon yang Dilanda Krisis Ekonomi Parah

Bank Dunia sebut krisisnya terparah dalam lebih 150 tahun

Keadaan Port of Beirut, Lebanon setelah terjadi ledakan (ANTARA FOTO/REUTERS/Mohamed Azakir)

Jakarta, IDN Times – Lebanon telah mengalami krisis ekonomi dan keuangan parah sejak 2019. Bank Dunia bahkan menyebutnya sebagai salah satu krisis global paling parah dalam lebih dari 150 tahun.

Ini dikarenakan terjadi banyak kelangkaan di negara itu, mulai dari makanan hingga bahan bakar dan juga listrik. Selain itu, negara itu juga kekurangan pasokan uang.

Kesengsaraan Lebanon berakar dari masa lalu. Menurut Ekonom Libanon, Nisreen Salti, ini semua berawal dari era setelah berakhirnya Perang Saudara Lebanon.

Pada saat itu, ada harapan untuk negara itu untuk menumbuhkan kembali ekonomi dan menjadikan Beirut sebagai pusat keuangan Timur Tengah. Namun, Nisreen mengatakan bahwa Lebanon membuat keputusan yang salah tentang nilai tukar sehingga membuatnya seperti sekarang ini.

Menurut NPR, Lebanon memutuskan untuk memperbaiki nilai tukar mata uang lokal terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Memang, nilai tukar yang stabil ini memberikan kepastian bagi investor luar negeri, tapi Nisreen mengatakan bahwa itu telah dipertahankan cukup lama sehingga tidak lagi sehat bagi ekonominya.

Selama lebih dari dua dekade, pemerintah meminjam lebih banyak uang untuk mempertahankan nilai tukar, hingga utangnya membengkak dan gagal membayar pada tahun 2020. Dari sana, semuanya menurun.

Menurut BBC pada Agustus 2020, utang publiknya terhadap produk domestik bruto (PDB) adalah yang tertinggi ketiga di dunia, angka pengangguran mencapai 25 persen, dan hampir sepertiga penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.

Baca Juga: Atasi Krisis, PM Lebanon akan Berbicara dengan IMF

Baca Juga: Skema Ponzi, Investasi Bodong yang Rugikan Banyak Investor

1. Krisis melanda Lebanon

Ilustrasi bank dunia (ANTARA FOTO)

Kondisi di negara ini semakin parah pada akhir tahun lalu, ketika bank sentral negara itu meminjam dari bank-bank komersial dengan suku bunga di atas pasar untuk membayar kembali utangnya dan mempertahankan nilai tukar tetap pound Lebanon terhadap dolar AS. Para analis melabeli kegiatan ini sebagai skema piramida yang disponsori negara atau skema Ponzi.

Di tengah kisruh ini, rakyatnya yang sengsara semakin marah dan frustasi atas kegagalan pemerintah untuk menyediakan layanan dasar di negara itu. Mereka harus berurusan dengan pemadaman listrik setiap hari, kekurangan air minum yang aman, layanan kesehatan publik yang terbatas, dan bahkan menghadapi salah satu koneksi internet terburuk di dunia.

Parahnya, para elit penguasa negara itu tidak hanya gagal melakukan reformasi besar-besaran yang diperlukan untuk memecahkan masalah negara, tapi juga tidak memedulikan rakyatnya dan malah mengumpulkan kekayaan mereka sendiri.

2. Rakyat Lebanon hidup menderita

Keadaan di wilayah pelabuhan yang mengalami kerusakan akibat ledakan yang terjadi kemarin di Beirut, Lebanon, Rabu (5/8/2020) (ANTARA FOTO/REUTERS/Mohamed Azakir)

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan bahwa dalam waktu kurang dari dua tahun, krisis keuangan dan ekonomi Lebanon telah membuat sekitar tiga perempat populasi jatuh miskin. Kondisi ini juga telah mendevaluasi (menghilangkan nilai) pound Lebanon sekitar 90 persen.

PBB memperkirakan bahwa 78 persen (sekitar tiga juta orang) penduduk Lebanon hidup di bawah garis kemiskinan, di mana 36 persennya hidup dalam kemiskinan ekstrem. PBB juga mengatakan bahwa hampir seperempat dari populasi negara itu tidak dapat memenuhi kebutuhan makanan mereka pada akhir tahun lalu. Atas dasar ini, PBB telah menyerukan kepemimpinan negara itu untuk segera menerapkan reformasi.

“Situasinya tetap menjadi mimpi buruk bagi orang-orang biasa, menyebabkan penderitaan dan kesusahan yang tak terkatakan bagi mereka yang paling rentan,” kata Koordinator Kemanusiaan dan Kediaman PBB untuk Lebanon Najat Rochdi pada konferensi pers Jumat (1/10/2021) lalu.

“Kelaparan telah menjadi kenyataan yang berkembang bagi ribuan orang,” lanjut Rochdi. “Hari ini, kami memperkirakan bahwa lebih dari satu juta orang Lebanon membutuhkan bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, termasuk makanan.”

Komunitas internasional ini telah berulang kali mendesak Lebanon untuk mereformasi ekonominya, terutama dengan mengakhiri pengeluaran yang boros dan korupsi, dan merestrukturisasi sektor energinya yang tidak efektif. Mereka juga menyerukan audit forensik bank sentral.

Baca Juga: Pejabat Lebanon Terlibat Korupsi, Parlemen UE Ancam Sanksi

3. Lebanon kekurangan bermacam-macam kebutuhan

Personel unit kesehatan bersiap membantu menangani wabah virus corona dalam tur media yang diselenggarakan oleh pejabat Hisbullah di pinggiran kota bagian selatan Beirut, Lebanon,pada 31 Maret 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Aziz Taher

Juru bicara Program Pangan Dunia, Rasha Abou Dargham, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa permintaan bantuan makanan sangat tinggi dari negara itu. Organisasi tersebut sekarang memberikan bantuan makanan kepada satu dari empat orang di negara tersebut.

“Kami belum pernah melihat kebutuhan yang meningkat ini di antara penduduk Lebanon sebelumnya,” katanya. “Sayangnya, kami sekarang adalah badan [PBB] terbesar di Lebanon.”

Nilai mata uang negara itu yang telah turun hingga 90 persen terhadap dolar dan juga kesulitan warga mengakses tabungan mereka di bank-bank negara itu, telah membuat daya beli berkurang.

Krisis bahan bakar telah melumpuhkan sebagian besar Lebanon selama beberapa bulan terakhir, menyebabkan pemadaman listrik skala besar dan melumpuhkan rumah sakit. Krisis obat-obatan juga terjadi, dengan rak-rak apotek kehabisan stok obat, bahkan untuk obat penting untuk perawatan kanker. Kondisi ini telah menyebabkan orang-orang harus merogoh kocek lebih dalam untuk membelinya dengan harga yang meningkat melalui pasar gelap.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya