TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Survei Minyak Bumi Global: Indonesia Kurang Diminati Investor

Ada beberapa indikator yang dipakai sebagai penilaian

unsplash.com/Ian Simmonds

Jakarta, IDN Times - Lembaga think tank asal Kanada, Fraser Institute, merilis laporan bertajuk Global Petroleum Survey pada 2018 kemarin. Fraser Institute menilai 80 yurisdiksi berdasarkan jumlah cadangan minyak bumi. Sebanyak 80 yurisdiksi itu menghasilkan 68 persen produksi minyak dan gas dunia. 

Dalam survei yang melibatkan 256 responden dari kalangan manajer serta eksekutif di industri eksplorasi dan produksi minyak bumi itu disebutkan Indonesia tergolong sebagai salah satu negara yang tak menarik bagi investor. Sedangkan Amerika Serikat mendominasi sebagai negara dengan yurisdiksi paling atraktif bagi pemilik dana.

Baca Juga: Hore! Pertamina Turunkan Harga BBM

1. Ada sejumlah indikator yang dijadikan bahan pertimbangan oleh para responden

unsplash.com/Ian Simmonds

Para responden diberikan beberapa indikator Indeks Persepsi Kebijakan (PPI) yang mereka gunakan untuk menilai masing-masing yurisdiksi. Di antara indikator-indikator tersebut antara lain adalah kebijakan fiskal, pajak, ketidakpastian mengenai administrasi, kualitas infrastruktur, hambatan dagang dan stabilitas politik.

Fraser Institute membagi penilaian berdasarkan indikator-indikator itu ke dalam tiga kategori. Pertama, apakah indikator tersebut mencegah investor secara halus untuk melakukan investasi. Kedua, indikator itu secara kuat mencegah para investor untuk menanamkan modal di yurisdiksi itu. Ketiga, indikator tersebut membuat mereka sama sekali tidak mau berinvestasi.

2. Meski punya cadangan minyak bumi besar, Indonesia tak terlalu diminati investor

unsplash.com/Kevin Harris

Ada 11 yurisdiksi dengan cadangan minyak bumi terbesar di mana Indonesia merupakan salah satunya. Yurisdiksi lain masuk ke dalam kategori ini adalah Rusia, Irak, Libya serta Venezuela. Berdasarkan kategori ini, Texas dianggap sebagai yurisdiksi paling menarik bagi investor. Di belakang Texas ada Rusia, Alberta (Kanada), Mesir, dan Mozambique.

Sementara itu, Nigeria, Indonesia, Irak dan Libya menjadi lima yurisdiksi terbawah. Venezuela sendiri menjadi yurisdiksi yang paling tidak diminati oleh investor. Hasil PPI Venezuela merupakan yang terburuk di dunia di mana negara tersebut mendapatkan nilai sangat rendah dalam tujuh tahun terakhir.

Sedangkan Amerika Serikat mendominasi dengan sembilan yurisdiksi yang dinilai paling menarik. Selain Texas yang dua kali berturut-turut menempati urutan pertama, ada juga Oklahoma, Kansas, Wyoming, North Dakota, Alabama, Montana serta Louisana.

3. Tanpa memerhatikan jumlah cadangan minyak, Indonesia tetap berada di 10 besar yurisdiksi paling tidak diminati investor

unsplash.com/ AbsolutVision

Jika jumlah cadangan minyak bumi tak dijadikan pertimbangan, para responden menilai ada 10 yurisdiksi dengan hambatan investasi terbesar yang membuat mereka berat untuk melakukan investasi. Venezuela tetap menempati posisi pertama sebagai yurisdiksi yang paling tak diminati.

Posisi berikutnya secara berurutan adalah Yaman, Tasmania (Australia), Victoria (Australia), Libya, Irak, Ekuador, New South Wales (Australia), Bolivia, dan terakhir Indonesia. Dengan kata lain, di antara 10 negara yang paling tidak menarik ini, Indonesia masih menempati posisi terbaik.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sendiri mengakui bahwa jumlah investasi migas di Indonesia memang masih rendah. Menurut kementerian, target investasi migas pada 2018 sebesar US$14,3 miliar. Hanya saja, sampai Maret 2018, baru 17 persen yang mencapai target dan ini jauh dari harapan.

4. Persoalan regulasi menjadi alasan utama mengapa investor menilai Indonesia tidak menarik

unsplash.com/rawpixel

Skor PPI Indonesia sendiri meningkat pada tahun 2018 dibandingkan setahun sebelumnya. Secara keseluruhan, Indonesia menempati peringkat 71 dari 80 yurisdiksi. Pada 2017, ketika ada 97 yurisdiksi yang diteliti, Indonesia berada di posisi 92. Persoalan terbesar Indonesia, menurut para responden, berada di regulasi.

Salah satu testimoni menyebut,"Indonesia secara reguler mengganti-ganti kebijakan di level pemerintah dan kementerian terkait industri minyak dan gas, yang mana ini mencegah investasi. Aksi-aksi terbaru berhubungan dengan penandatangan bonus ekstensi PSC (cost recovery) adalah salah satu contohnya."

"Sistem PSC Indonesia dirancang dengan sangat buruk dan ini tak menarik bagi investor," kata responden. "Proses regulasi tidak tentu dan bias," bunyi testimoni lainnya. Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar berkata pihaknya berkomitmen menarik investor dengan memangkas 182 aturan. Di antara aturan-aturan itu, dua contohnya adalah soal rezim fiskal di mana ada perubahan dari cost recovery menjadi gross split.

Baca Juga: Tahukah Kamu 5 Sumber Energi Paling Aneh Pengganti Minyak Bumi Ini?

Topik:

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya