Zie Batik: Antara Bisnis, Budaya, dan Lestari Alam
Zie Batik memiliki misi sosial dalam pengembangan bisnisnya
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - G20 di Bali pada akhir 2022 lalu menjadi momentum bagi salah satu merek Batik asal Semarang, Zie Batik, untuk unjuk gigi. Dalam momen itulah, mereka memperkenalkan diri sebagai salah satu produk UMKM unggulan yang berpotensi menembus pasar dunia.
Tak heran, karena secara kualitas Zie Batik selalu mampu memberikan yang terbaik. Produknya begitu presisi dan selalu memiliki ciri khas.
Namun, di balik itu semua, Zie Batik ternyata tak hanya bicara soal produk, bisnis, dan keuntungan. Mereka juga memiliki misi lain dalam bidang sosial dan kelestarian alam.
Berlokasi di Kampung Malon, Gunungpati, Semarang, Jawa Tengah, Zie Batik berdiri dan mengabdikan diri untuk mengembangkan potensi dari masyarakat sekitarnya. Pemilik Zie Batik, Marheno Jayanto, menyatakan ingin memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar lewat bisnisnya.
Penyerapan tenaga kerja di sekitar Kampung Malon, diharapkan oleh Heno (sapaannya), bisa membantu masyarakat sekitar untuk bisa mendapatkan penghasilan.
"Kami di sini melatih pula masyarakat sekitar untuk membatik. Tujuannya, agar mereka memiliki keterampilan tersendiri. Kami juga memanfaatkan petani sekitar untuk mendapatkan bahan baku," ujar Heno saat ditemui IDN Times baru-baru ini dalam diskusi bersama Bank Indonesia di Semarang.
Baca Juga: Batik Wistara Surabaya, Batik Sunyi Tak Bersuara
1. Lestari alam dari pewarna natural
Heno juga menyerap potensi dari petani sekitar Kampung Malon dalam menjalankan bisnisnya. Dia menyatakan produk dari para petani digunakannya untuk mendapatkan pewarna dari bahan alami.
Bahan tersebut berasal dari tanaman indigofera yang bisa menghasilkan warna alami untuk tekstil.
"Awalnya, kami beli dari mereka dengan bentuk daun, dan diolah sendiri. Tapi, akhirnya mereka kami latih, untuk membuat pasta agar bisa menjualnya dengan harga yang lebih tinggi. Jadi, kami beli dari mereka dengan kondisi sudah jadi pasta sekarang ini," kata Heno.
Cara ini, disebut Heno, jadi langkah nyata dari Zie Batik untuk ikut melestarikan lingkungan. Sebab, residu pewarna yang muncul dari daun indigofera tak mencemari lingkungan.
Pun, Heno juga memanfaatkan bahan lain dari alam. Buah dari pohon bakau yang mengering, dimanfaatkan olehnya untuk menjadi pewarna.
Selain itu, masih ada sejumlah bahan alami seperti delima, secang, tingi, tegeran, dan lainnya, yang digunakan Heno.
"Jadi kami ambil buah dari pohon bakau yang sudah kering. Orang pikir kan itu sampah, tapi sebenarnya berguna. Itu sampah yang bisa jadi rupiah," kata pria asal Depok tersebut.
Butuh waktu bertahun-tahun bagi Heno dalam menemukan formula terkait pewarna alami dari indigofera dan buah kering pohon bakau. Dia juga harus mengikuti sejumlah pelatihan dan melakukan riset untuk mendapatkan formula yang tepat.
Baca Juga: Batik Slobog, Batik Khas Jogja yang Bermakna Duka