TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

China Minta APBN Jadi Jaminan Utang Kereta Cepat, Pengamat: Berbahaya!

Dampaknya ke keuangan negara

Penampakan rangkaian Kereta Cepat Jakarta-Bandung. (dok. KCIC)

Jakarta, IDN Times - Pemerintah perlu berhati-hati dalam menyikapi permintaan China Development Bank (CDB) agar APBN dijadikan jaminan utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), dalam hal ini utang untuk menambal pembengkakan biaya (cost overrun).

Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengingatkan menjadikan APBN sebagai jaminan utang bakal berbahaya.

"APBN untuk jaminan utang kereta cepat sangat berbahaya. Ada risiko kontinjensi di mana konsorsium kereta cepat memiliki risiko gagal bayar yang tinggi," kata dia kepada IDN Times, Jumat (14/4/2023).

Menurutnya, sebelum ada cost overrun saja, kelihatannya pembayaran utang untuk proyek kereta cepat sudah berat. Apabila APBN ikut terseret bisa berimbas ke belanja pemerintah untuk menanggung cicilan dan bunga utang dalam jangka panjang.

"Seolah, ini jaminan tapi dengan kemampuan bayar konsorsium yang rendah ya ujungnya dana APBN juga keluar," tuturnya.

Baca Juga: Proyek Kereta Cepat JKT-BDG Bikin Impor Kereta Melonjak 605 Persen

1. Dampak jika APBN jadi jaminan utang tak main-main

Ilustrasi APBN. (IDN Times/Aditya Pratama)

Bhima berpendapat, jika skema APBN sebagai jaminan utang disetujui maka berimplikasi pada pelebaran defisit anggaran negara, turunnya rating utang pemerintah, dan konsekuensi bunga Surat Berharga Negara (SBN) yang lebih mahal.

Selain itu, pemerintah juga diingatkan untuk tidak sesumbar mengatakan penerimaan pajak masih besar. Sebab, rasio pajak tahun lalu hanya naik berkat disumbang windfall harga komoditas dan pemulihan pandemik COVID-19. Tak menutup kemungkinan jika beberapa tahun ke depan tekanan rasio pajak akan berisiko menurun.

"DPR harus cegah skenario aneh libatkan APBN sebagai agunan utang kereta cepat," ujar Bhima.

2. Negosiasi bunga utang dinilai tidak masuk akal

(IDN Times/Arief Rahmat)

Bhima juga menyoroti negosiasi bunga utang yang dianggapnya juga tak masuk akal. Padahal, masalahnya bukan soal negosiasi bunga tapi persoalan menanggung biaya risiko cost overrun.

"Kalau bicara bunga, artinya pemerintah Indonesia yang tetap keluar uang baik melalui BUMN maupun APBN langsung," katanya.

Menurutnya, pengajuan pinjaman baru untuk menutup cost overrun hanya menguntungkan pihak kreditur. Sebab, pembengkakan biaya juga dimulai dari kesalahan proses perencanaan di awal atau feasibility study.

Kata dia, kala itu proses perencanaan proyek terlalu optimis dan kreditur menawarkan bunga murah. Sayangnya, begitu dijalankan ada pembengkakan biaya.

"Apa semua tanggung jawab penuh BUMN dan pemerintah Indonesia? Ini kan kurang fair. Beban utang dari kereta cepat juga akan semakin menimbulkan efek berantai ke defisit APBN," ujarnya.

Alhasil, pengaruh ke operasional kereta cepat jadi semakin dilematis. Sebab, bisa saja demi mempercepat pelunasan utang maka harga tiket terpaksa dinaikkan. Konsekuensinya, ketika harga tiket naik maka jumlah penumpang bisa dibawah proyeksi ideal.

Situasi tersebut, menurutnya justru akan memperberat subsidi negara ke kereta cepat. Padahal subsidi juga ditujukan untuk golongan tidak mampu, sedangkan calon penumpang kereta cepat adalah golongan mampu.

"Skema ideal tetap burden sharing atau berbagi beban antara kreditur dan pemerintah. Sekarang opsi yang terbuka adalah debt swap. Menukar utang kereta cepat China dengan program subsidi tiket kereta cepat. Jadi, beban utang berkurang, kreditur China akan mensubsidi tiket sebagai bagian dari goodwill terhadap masyarakat Indonesia," tambahnya.

Baca Juga: Proyek Kereta Cepat JKT-BDG Bikin Impor Kereta Melonjak 605 Persen

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya