Tetap Dilanjutkan, Anies Bakal Rombak Habis Hilirisasi Nikel
Perbaiki aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN) memastikan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 01 akan melanjutkan hilirisasi sumber daya alam.
Paslon tersebut memiliki fokus khusus pada hilirisasi, khususnya dalam konteks nikel sebagai sektor unggulan atau front runner. Mereka ingin melanjutkan hilirisasi dan mendorongnya menuju industrialisasi, tetapi dengan perbaikan, terutama dalam aspek Environment, Social, Governance (ESG).
“Dalam visi misi AMIN itu tertulis sangat jelas bahwa AMIN akan melanjutkan hilirisasi, mendorongnya menuju industrialisasi, tetapi dengan perbaikan-perbaikan,” kata Dewan Pakar Timnas AMIN, Wijayanto Samirin dalam Diskusi Katadata Forum Pasca Debat Keempat Pilpres 2024-2029, Kamis (25/1/2024).
Keberlanjutan dan perbaikan hilirisasi nikel dianggap penting karena nikel menjadi sektor unggulan. Timnas AMIN menekankan perlunya membetulkan platform dan format hilirisasi nikel agar menjadi contoh yang baik. Harapannya, sektor tambang lainnya akan mengikuti jejak nikel dalam mengembangkan hilirisasi.
“Kalau kita berbicara hilirisasi, nikel ini adalah front runner, pelari terdepan. Ini harus kita betulin platform dan formatnya. Kenapa? Supaya hilirisasi di sektor tambang yang lain itu mengikuti path ini. Kalau ini enggak benar, yang lain ngikutin bisa berabe kita. Jadi kita harus perbaiki platformnya,” tuturnya.
Baca Juga: Cak Imin: Ada 2.500 Tambang Ilegal, Bukti Hilirisasi Ugal-ugalan
1. Anies akan memastikan aspek lingkungan pada hilirisasi
Dari sisi environment, pihaknya menekankan perlunya memastikan bahwa industri nikel, smelter, dan hilirisasinya memiliki perhatian yang kuat terhadap aspek lingkungan.
Penekanan pada aspek lingkungan tersebut disebabkan oleh kekhawatiran bahwa jika dampak lingkungan tidak diperhitungkan dengan baik, maka dapat mengakibatkan kerugian.
“Karena problem GDP itu tidak mempertimbangkan cost lingkungan, tidak mempertimbangkan dampak lingkungan. Jangan-jangan kalau itu dimasukkan, maka sebenarnya kita net loss,” sebutnya.
Dia memberikan contoh yang terjadi di Jerman, di mana meskipun memiliki cadangan batu bara yang besar, negara tersebut memilih untuk tidak menambang. Hal itu karena biaya produksi 1 ton batu bara di Jerman mencakup biaya lingkungan sebesar 100 dolar AS.
“Itu dia kenapa mereka menahan untuk tidak berproduksi. Nah, kita harus lebih bijak di sini terkait dengan dampak lingkungan,” ujarnya.
Baca Juga: Investasi Hilirisasi Tembus Rp375,4 T, Mayoritas untuk Smelter