Apa Itu Food Estate yang Jadi Bahan Debat Cawapres?

Jakarta, IDN Times - Pemerintah telah mendorong implementasi food estate sebagai strategi untuk mencapai kedaulatan pangan dan mengurangi ketergantungan pada impor pangan.
Food estate adalah konsep pengembangan lahan pertanian yang luas dan terintegrasi dengan tujuan meningkatkan produksi pangan nasional.
Salah satu proyek food estate yang dikembangkan oleh pemerintah adalah di Kalimantan. Dengan memanfaatkan lahan yang luas, proyek tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi komoditas pangan.
Namun, proyek food estate juga menuai kritik dan kontroversi. Beberapa pihak menyatakan keprihatinan terkait dampak lingkungan, termasuk deforestasi dan perubahan ekosistem yang dapat merugikan keberlanjutan lingkungan.
Bahkan, masalah tersebut diangkat saat debat calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres). Bagaimana pun, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa implementasi food estate memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan tidak merugikan lingkungan serta masyarakat lokal.
1. Apa yang dimaksud dengan food estate?
Dikutip dari beberapa keterangan yang dipublikasikan pemerintah, disebutkan bahwa food estate merupakan inisiatif pemerintah yang mengusung ide pengembangan pangan secara menyeluruh, mencakup berbagai sektor seperti pertanian, perkebunan, dan peternakan dalam suatu wilayah.
Perluasan lahan dalam rangka meningkatkan cadangan pangan nasional dilakukan melalui pengembangan kawasan food estate yang juga kerap diartikan lumbung pangan.
Program ini saat ini telah diterapkan di berbagai wilayah, termasuk Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Kebijakan tersebut termasuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024.
2. Program food estate melibatkan berbagai instansi pemerintah
Pembangunan food estate melibatkan sejumlah kementerian seperti PUPR, Pertanian, dan Pertahanan dalam suatu kolaborasi yang integral. Proses tersebut melibatkan tugas spesifik, seperti land clearing dan irigasi oleh Kementerian PUPR, serta aspek strategis oleh Kementerian Pertahanan.
Pengembangan food estate di berbagai wilayah Indonesia diakui tidak mudah, dengan tingkat keberhasilan panen yang mulai membaik pada tanaman keenam atau ketujuh.
Pada tahap awal sering mengalami kegagalan, dan permasalahan. Oleh karena itu, pemerintah melakukan evaluasi dan perbaikan guna mencapai hasil yang diinginkan.
3. Food estate dinilai merusak lingkungan
Berdasarkan laporan Greenpeace dengan judul ‘Food Estate: Menanam Kehancuran, Menuai Krisis Iklim, program food estate di Kalimantan Tengah (Kalteng) menyebabkan sejumlah kerusakan lahan hutan.
Misalnya di kawasan hutan di Kabupaten Gunung Mas, yang dijadikan food estate untuk komoditas singkong oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Lahan seluas 760 hektare (ha) dibuka untuk perkebunan singkong, yang menyebabkan 77 ribu ton karbon hilang.
Selain itu, masih di Kabupaten Gunung Mas, tepatnya di Desa Tewai Baru, sekitar 250 ribu ha dibuka untuk perkebunan singkong. Hal itu menyebabkan hilangnya vegetasi yang menyebabkan limpasan hujan yang cepat, dan menyapu lapisan atas tanah yang berpasir.
Laporan tersebut menyatakan, kondisi itu berpotensi merusak kesuburan tanah. Lalu, kombinasi sedimen kasar dan sisa-sisa kayu dari area yang dibuka menyumbat lahan basah dan aliran air di dekatnya, dan menyebabkan banjir di Sungai Tambun dan Tambakung.