Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi investasi (Freepik.com/snowing)
Ilustrasi investasi (Freepik.com/snowing)

Jakarta, IDN Times - Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas, menandai dimulainya Trade War 2.0. Presiden AS, Donald Trump menaikkan tarif terhadap barang-barang asal China menjadi 245 persen sebagai respons terhadap kebijakan balasan China yang juga meningkatkan tarif AS secara signifikan.

Situasi ini juga diperburuk dengan keputusan Uni Eropa untuk mengenakan tarif sebesar 25 persen atas produk impor dari AS, yang berlaku mulai pertengahan April 2025.

Kondisi ini telah memicu lonjakan volatilitas di pasar global, termasuk di Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat tertekan hingga -9 persen ke 5.912 pada 8 April 2025 sebelum akhirnya rebound +5,9 persen ke level 6.262 pada 11 April 2025 menyusul kabar penundaan tarif tambahan oleh Trump.

Chief Investment Officer PT Insight Investments Management (IIM), Camar Remoa menjelaskan, ketegangan dagang global memang meningkatkan ketidakpastian, tetapi di saat yang sama juga membuka peluang bagi Indonesia.

“Dengan porsi ekspor ke AS yang relatif kecil terhadap PDB, Indonesia memiliki fleksibilitas lebih besar untuk menyusun kebijakan perdagangan dan mengelola dampaknya secara bijak,” ujar Camar dalam keterangan resminya, dikutip Selasa (29/4/2025).

1. Investor bisa manfaatkan kesempatan memperkuat portofolio

ilustrasi investasi (freepik.com/pch.vector)

Bagi investor, lanjut Camar, situasi saat ini juga bisa menjadi peluang untuk memperkuat portofolio dengan mengambil strategi pengelolaan yang tepat. 

“Penerapan reciprocal tariff seperti ini dapat meningkatkan ketidakpastian pasar karena berisiko memicu aksi balasan dari mitra dagang utama seperti Tiongkok dan Uni Eropa. Dengan kondisi yang masih sangat dinamis dan penuh ketidakpastian, investor sebaiknya mengambil langkah yang strategis dan tetap tenang dalam menghadapi fluktuasi pasar,” tutur Camar.

Camar menegaskan, diversifikasi menjadi kunci utama untuk mengurangi risiko dan menjaga kestabilan portofolio dengan volatilitas yang cukup dinamis saat ini. Adapun salah satunya adalah melalui instrumen reksa dana.

“Volatilitas harga pada pada pasar modal, justru bisa menjadi peluang bagi investor, selama mampu mengelola risiko melalui diversifikasi dan menyesuaikan strategi dengan horizon investasi masing‑masing,” ujar Camar.

2. Strategi investor jangka pendek

ilustrasi membaca prospektus perusahaan yang akan IPO (pixabay.com/tumisu)

Di tengah volatilitas yang tinggi, Camar menyampaikan, langkah penting bagi investor jangka pendek adalah menjaga likuiditas. 

“Di tengah volatilitas yang tinggi, langkah paling bijak bagi investor jangka pendek adalah menjaga likuiditas. Instrumen pasar uang menawarkan fleksibilitas tinggi dan risiko relatif rendah, sambil menunggu momentum pembalikan arah pasar yang lebih jelas,” kata Camar.

Dalam hal ini, IIM merekomendasikan I‑Retail Cash Fund (I-Retail Cash), Reksa Dana Pasar Uang (RDPU) yang menempatkan pada instrumen keuangan bertenor kurang dari satu tahun dengan durasi pendek sehingga lebih defensif terhadap volatilitas pasar.

“Pendekatan I‑Retail Cash dirancang untuk menangkap imbal hasil optimal sambil meminimalkan risiko durasi ketika pasar masih fluktuatif,” kata Camar.

Sebagai catatan,  produk I-Retail Cash menunjukkan performa yang konsisten mengungguli benchmark (Infovesta Money Market Fund Index) sejak peluncurannya. Secara kumulatif, I-Retail Cash mencatatkan return sebesar 59,88 persen, jauh melampaui benchmark yang berada di angka 32,70 persen.

3. Strategi investor jangka menengah-panjang

Bursa Efek Indonesia (IDN Times/Ridwan Aji Pitoko)

Di sisi  lain, bagi investor dengan horizon menengah hingga panjang, kombinasi instrumen fixed income dan saham menjadi strategi yang lebih moderat, tetapi tetap berpeluang. “Valuasi saham saat ini cukup menarik untuk bottom‑fishing bertahap, dan yield obligasi pemerintah di level 7 persen memberikan entry point yang solid,” tutur Camar.

Jika merujuk pada data historis, pasar saham Indonesia yang menunjukkan pola pemulihan yang kuat pasca krisis. Sebagai contoh, setelah IHSG mencapai harga terendah pada 28 Oktober 2008 di tengah krisis keuangan global, indeks mencatatkan kenaikan sebesar 44,22 persen dalam waktu enam bulan dan melonjak hingga 117,44 dalam waktu 12 bulan.

Hal serupa terjadi setelah pandemi COVID-19 mengguncang pasar pada Maret 2020. Enam bulan setelah mencapai titik terendah pada 24 Maret 2020, IHSG naik 25,16 persen. Kemudian dalam kurun satu tahun, IHSG sanggup naik sebesar 59,71 persen.

Data historis ini menunjukkan, strategi jangka menengah hingga panjang, terutama dengan melakukan akumulasi secara bertahap saat valuasi menarik, berpotensi memberikan imbal hasil yang signifikan. Kombinasi saham berfundamental kuat dan obligasi dengan yield kompetitif di level 7 persen dapat menjadi dasar strategi yang seimbang di tengah ketidakpastian pasar.

Di ranah pendapatan tetap, IIM menawarkan Insight Renewable Energy Fund (I-Renewable), Reksa Dana Pendapatan Tetap (RDPT) yang memiliki underlying instrumen investasi dengan durasi menengah sehingga relatif lebih stabil saat pasar sedang volatile.

“Durasi rata‑rata portofolio I‑Renewable kami jaga di kisaran 1,5–3,5 tahun, sehingga nilai investasi tetap stabil dan siap memanfaatkan kenaikan yield saat pasar membaik,” kata Camar.

“Kinerja historikal I-Renewable tercatat unggul dibandingkan benchmark di berbagai periode, terutama dalam jangka panjang. Sejak peluncuran, I-Renewable Total Return (Fund+Dividen) mencatatkan pertumbuhan 153,68 persen, jauh di atas benchmark sebesar 92,51 persen,” sambung dia.

Editorial Team