Bank Dunia memperkirakan perdagangan global hanya akan tumbuh 1,8 persen pada 2025, turun drastis dari 3,4 persen pada 2024. Inflasi global diprediksi tetap tinggi di 2,9 persen akibat tarif dan pasar tenaga kerja yang ketat. Meski begitu, prospek bisa membaik jika terjadi perjanjian dagang antara negara besar.
“Analisis kami menunjukkan bahwa jika sengketa perdagangan saat ini diselesaikan dengan perjanjian yang mengurangi separuh tarif relatif terhadap level mereka pada akhir Mei 2025, pertumbuhan global dapat lebih kuat sekitar 0,2 poin persentase rata-rata selama 2025 dan 2026,” kata Gill.
Namun, jika tarif naik 10 poin lagi dan dibalas negara lain, pertumbuhan global bisa terpangkas 0,5 persen. Kondisi ini bisa menghentikan perdagangan dunia di paruh kedua tahun, disertai kejatuhan kepercayaan dan gejolak pasar.
Wakil kepala ekonom Bank Dunia, Ayhan Kose, mengatakan risiko resesi global di bawah 10 persen.
“Ketidakpastian tetap menjadi hambatan yang kuat, seperti kabut di landasan pacu. Ini memperlambat investasi dan mengaburkan prospek,” kata Kose.
Ia menyebut dialog dagang mulai membaik dan rantai pasok tengah beradaptasi. Sementara itu, pada 2026, perdagangan diperkirakan pulih tipis ke 2,4 persen. Kemajuan kecerdasan buatan juga bisa menopang pertumbuhan.
“Kami berpikir bahwa pada akhirnya ketidakpastian akan berkurang. Banyak negara juga sedang mendiskusikan kemitraan perdagangan baru yang dapat memberikan dividen nanti,” kata Kose.
Laporan menyebut negara miskin akan paling menderita. Produk domestik bruto per kapita di negara berkembang bisa tertinggal 6 persen dari level sebelum pandemik, dan mungkin butuh dua dekade untuk pulih.
Pekan ini, pejabat tinggi dari AS dan China bertemu di London untuk meredakan ketegangan dagang. Ketegangan telah meluas ke isu mineral tanah jarang dan mengancam stabilitas rantai pasok global.
Sementara Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi juga memangkas prediksi pertumbuhan global 2025 menjadi 2,9 persen, dari sebelumnya 3,1 persen. Mereka menyebut tarif sebagai faktor utama dalam revisi tersebut.
Ekonom Perserikatan Bangsa-Bangsa menyimpulkan bahwa globalisasi kini memasuki “titik belokan.”
“Kebijakan liberalisasi perdagangan telah bergeser ke arah proteksionisme dan intervensi,” tulis mereka.