Gedung Kementerian BUMN. (IDN Times/Vadhia Lidyana)
Prastowo juga meluruskan soal kewajiban kontinjensi. Kata dia, kewajiban kontinjensi adalah kewajiban potensial yang timbul dari peristiwa masa lalu, dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu atau lebih peristiwa pada masa datang yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah.
"Kewajiban kontinjensi tidak disajikan di neraca pemerintah, namun cukup diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan untuk setiap kontinjensi pada akhir pelaporan. Hal ini dikarenakan kewajibannya baru bersifat potensi, belum tentu akan terjadi/terealisasi," jelasnya.
Dia menjelaskan, dalam laporan keuangan pemerintah pusat, utang BUMN tidak masuk dalam kategori kewajiban kontinjensi. Entitas lain seperti BUMN, perguruan tinggi badan hukum (PTN BH), pemda, dan BUMD juga tidak termasuk dalam cakupan LKPP.
"BUMN sendiri merupakan kekayaan negara yang dipisahkan menurut UU Keuangan Negara. Utang BUMN tentu menjadi kewajiban BUMN, bukan kewajiban pemerintah pusat, termasuk untuk pembayaran pokok utang dan bunganya," ujarnya.
Utang BUMN baru dianggap sebagai kewajiban kontinjensi pemerintah apabila utangnya mendapat jaminan oleh pemerintah. Tapi, kewajiban kontinjensi tersebut tidak otomatis menjadi utang pemerintah sepanjang mitigasi risiko default atau gagal bayar dijalankan.
"Berdasarkan history, hingga saat ini zero default atas jaminan pemerintah," tutur Prastowo.
Dia menambahkan, keuntungan BUMN juga tidak serta merta menjadi penerimaan pemerintah. Biasanya pemerintah memperoleh dividen dengan jumlah tertentu yang diakui sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) oleh pemerintah.