Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ratusan buruh demo menolak Tapera di depan Kantor Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Jakarta Pusat, Kamis (27/6/2024). (IDN Times/Trio Hamdani)

Intinya sih...

  • Ribuan buruh tembakau ancam gelar aksi unjuk rasa ke Kemenkes terkait aturan kemasan rokok polos tanpa merek
  • Permintaan keterlibatan buruh dan pihak terkait di industri hasil tembakau dalam perumusan aturan

Jakarta, IDN Times - Ribuan buruh tembakau mengancam akan kembali menggelar aksi unjuk rasa ke Kantor Kementerian Kesehatan (Kemenkes) jika pihak-pihak yang terkait dengan industri rokok tidak dilibatkan dalam perumusan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.

Sebagaimana diketahui, kebijakan tersebut mendorong kemasan rokok polos tanpa merek yang ditolak tegas oleh berbagai pihak, termasuk ratusan ribu buruh.

Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Kudus, Agus Purnomo menilai, aturan tersebut hanya akan meningkatkan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di Indonesia, dalam hal ini di industri hasil tembakau. Oleh karena itu, dia meminta pemerintah untuk mencabut PP Nomor 28/2024 serta membatalkan RMPK.

"Sudah banyak yang di-PHK pada hari ini, jangan sampai pemerintah buat regulasi yang memberatkan kita. Tolong perhatikan kami, kami juga memiliki hak, jangan sampai pekerjaan kami dihilangkan yang digunakan untuk menghidupi diri kami," kata Agus dalam pernyataan resminya, dikutip Senin (21/10/2024).

1. Buruh siap unjuk rasa besar-besaran

Ratusan buruh demo menolak Tapera di depan Kantor Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Jakarta Pusat, Kamis (27/6/2024). (IDN Times/Trio Hamdani)

Agus kembali menegaskan, jika PP Nomor 28/2024 dan RMPK tetap berjalan tanpa ada keterlibatan dari buruh tembakau dan pihak yang terlibat di industri hasil tembakau, maka akan ada unjuk rasa lanjutan yang lebih besar.

"Bila Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin tidak mendengar juga, kita akan turun dengan kekuatan penuh," kata dia.

2. Kemenkes tidak boleh egois dalam membuat kebijakan

Ratusan buruh demo menolak Tapera di depan Kantor Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Jakarta Pusat, Kamis (27/6/2024). (IDN Times/Trio Hamdani)

Hal yang sama juga diutarakan oleh Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM-SPSI), Andreas Hua.

Dia mengingatkan Kemenkes untuk tidak egois dalam membuat kebijakan yang akan berdampak terhadap tenaga kerja di sektor industri tembakau. Dalam hal RPMK serta PP Nomor 28/2024.

"Saya hanya ingin menegaskan bahwa jangan memikirkan ego diri sendiri, perhatikan juga faktor ketenagakerjaan dan industri karena kami hidup dari industri. Uangnya mau, tapi rokoknya tidak," kata Andreas.

Andreas menyatakan, akan kembali turun ke jalan dengan lebih banyak massa yang berkontribusi jika tuntutan buruh tidak didengar. Hal itu lantaran sejumlah langkah untuk berdialog dengan Kemenkes telah dilakukan, tetapi dalam perjalanannya Kemenkes tidak menanggapi.

3. Penempatan buruh dalam proses perumusan kebijakan

Ilustrasi demo buruh (IDN Times/Trio Hamdani)

Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (DPP KSPSI), Jumhur Hidayat dalam pandangannya menyerukan agar pemerintah menempatkan pekerja atau buruh dalam posisi penting dalam proses perumusan kebijakan.

Hal itu karena dalam mengambil keputusan, pemerintah harus mempertimbangkan analisis yang matang, terutama terkait dampaknya terhadap para tenaga kerja.

"Setiap kebijakan seharusnya mempertimbangkan nasib pekerja yang menggantungkan hidupnya pada industri tersebut," kata Jumhur.

Dia menambahkan, industri tembakau memiliki peran penting dalam menyediakan lapangan kerja bagi banyak orang. Jika industri ini diberangus oleh regulasi yang tidak bijaksana, dampaknya akan sangat dirasakan oleh para buruh.

"Kebijakan yang tidak berpihak kepada tenaga kerja harus dilawan, karena PHK yang terjadi adalah sebuah tindak kejahatan. Setiap orang berhak atas pekerjaan yang layak, dan pemerintah seharusnya memahami hal ini sebelum mengambil keputusan yang akan berdampak luas," kata Jumhur.

Editorial Team