Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi Pajak (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi Pajak (IDN Times/Arief Rahmat)

Intinya sih...

  • Studi Celios: Penerapan pajak progresif dapat tambahkan penerimaan negara hingga Rp524 triliun per tahun

  • Perbaikan sistem pajak agar adil dan progresif untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa mengorbankan fondasi masa depan

  • Reformasi pajak tidak bisa ditunda lagi, pendekatan teknis dan keberanian politik diperlukan untuk merancang sistem perpajakan yang berkeadilan

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Center of Economic and Law Studies (Celios) merilis laporan bertajuk “Dengan Hormat, Pejabat Negara: Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang” yang mengungkapkan potensi penerimaan negara melalui instrumen pajak progresif dan berkeadilan.

Analogi “hewan di kebun binatang” mengacu wajib pajak yang sudah “tertangkap” sistem, sedangkan “hewan liar di hutan” adalah mereka dengan penghasilan tinggi, triliuner, tetapi lolos dari radar perpajakan.

Padahal dengan mengenakan pajak progresif kepada korporasi besar dan segelintir orang super kaya, potensi tambahan penerimaan negara dapat mencapai Rp469 triliun hingga Rp524 triliun per tahun.

1. Angka-angka dalam laporan Celios

Ilustrasi pajak. (IDN Times/Arief Rahmat)

Studi Celios tersebut mengungkapkan, penerapan beragam instrumen pajak progresif dan peninjauan ulang insentif pajak yang tidak tepat sasaran berpotensi menambah penerimaan negara hingga Rp524 triliun per tahun.

Berbagai kebijakan pajak progresif berpotensi menambah penerimaan negara hingga ratusan triliun rupiah per tahun, antara lain melalui peninjauan ulang insentif pajak yang tidak tepat sasaran sebesar Rp137,4 triliun, pajak kekayaan pada 50 orang terkaya senilai Rp81,6 triliun, pajak karbon Rp76,4 triliun, pajak produksi batubara Rp66,5 triliun, pajak windfall profit sektor ekstraktif Rp50 triliun, serta pajak atas penghilangan keanekaragaman hayati Rp48,6 triliun.

Tambahan penerimaan juga dapat diperoleh dari pajak digital sebesar Rp29,5 triliun, peningkatan tarif pajak warisan Rp20 triliun, pajak kepemilikan rumah ketiga Rp4,7 triliun, pajak capital gain Rp7 triliun, dan cukai minuman berpemanis dalam kemasan Rp3,9 triliun yang sekaligus mendukung kesehatan publik.

“Angka-angka itu masuk akal secara teknis, tetapi tidak secara politik. Jadi, satu-satunya cara kita bisa memecah kebuntuan ini adalah jika orang mulai memahami bahwa ada sistem alternatif di luar sana. Bahwa ada cara alternatif untuk mengumpulkan pajak, bahwa kita sebenarnya tidak menghadapi krisis anggaran. Saat ini diskusinya terhenti pada aspek pemangkasan anggaran, yang juga malah bisa memukul ekonomi pemerintah daerah karena banyak item efisiensi yang tidak tepat sasaran,” tutur Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar dalam peluncuran laporan pada Selasa (12/8/2025).

2. Perbaikan sistem pajak agar adil dan progresif

ilustrasi pajak (IDN Times/Aditya Pratama)

Lebih lanjut Media menjelaskan, terdapat cara yang jauh lebih strategis, yaitu memperbaiki sistem pajak agar adil dan progresif. Dengan begitu, pemerintah bisa meningkatkan penerimaan negara tanpa mengorbankan fondasi masa depan, sekaligus membuat ekonomi lebih kuat. 

“Kita sering bicara soal berapa besar bantuan untuk orang miskin, tetapi jarang membahas bagaimana negara secara langsung dan tidak langsung memberi 'tunjangan perusahaan' kepada korporasi kaya melalui celah pajak. Studi ini mengungkap, jika kita menutup celah itu dan menata tarif pajak secara progresif, kita bukan hanya menambah penerimaan, tapi juga bisa menggerakkan ekonomi masyarakat. Yang perlu disadari publik adalah kita tidak kekurangan uang, kita hanya kekurangan kemauan politik untuk memperbaiki sistem perpajakan kita,” tutur Media.

Sementara itu, Peneliti Celios, Jaya Darmawan berpandangan, dengan mendorong penerimaan negara alternatif tidak hanya dapat menjadi solusi bagi peningkatan penerimaan negara yang signifikan, tetapi juga mampu meningkatkan aspek keadilan fiskal yang menjadi pertanyaan masyarakat luas.

“Bahkan, dalam aspek kerusakan lingkungan yang memiliki eksternalitas negatif yang tinggi, terdapat instrumen pajak biodiversity loss yang bisa menekan kehilangan keanekaragaman hayati kita, sekaligus menambah penerimaan pajak hingga Rp48,6 triliun,” kata Jaya.

“Pajak progresif di sektor lingkungan juga dapat mengurangi ketimpangan ekonomi yang diproduksi melalui aktivitas ekstraktif yang didominasi orang super kaya, yang mana 56 persen kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia berasal dari sektor ekstraktif,” sambungnya.

3. Reformasi pajak tidak bisa ditunda lagi

Ilustrasi pajak. (IDN Times/Aditya Pratama)

Di sisi lain, Peneliti Celios lainnya, Galau D Muhammad menegaskan, pendekatan teknis sangat dimungkinkan untuk memitigasi double taxation dalam adopsi pajak progresif alternatif ini. Kebutuhan hari ini tak lain adalah keberanian politik untuk merancang sistem perpajakan yang berkeadilan.

“Titik awal bisa dimulai dengan meninjau ulang insentif pajak yang selama ini diberikan kepada korporasi besar. Upaya menggeser Insentif pajak yang tak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja akan efektif menutup kebocoran anggaran mencapai Rp137,4 triliun,” kata Galau.

Galau menambahkan, studi ini juga menegaskan reformasi perpajakan tidak lagi dapat ditunda. Celios pun mendorong pemerintah, parlemen, dan seluruh elemen masyarakat untuk menjadikan pajak progresif sebagai agenda prioritas nasional. Lebih dari sekadar mengamati, melainkan turut aktif mengawal arah reformasi ini agar sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan visi pembangunan yang berkelanjutan.

“Reformasi perpajakan hanya akan bermakna jika dibarengi dengan transparansi menyeluruh, pembenahan infrastruktur data, serta penguatan kapasitas kelembagaan perpajakan. Sebab tanpa langkah progresif mengubah arah, negara akan selalu kehilangan momentum untuk mewujudkan tatanan keadilan yang nyata bagi semua orang,” kata Galau.

Editorial Team