ilustrasi ibadah haji di Mekkah (pexels.com/Hafiz Humayun Khan)
Peran swasta dalam penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia bukanlah hal baru. Sejak masa kolonial, perusahaan dan yayasan swasta sudah terlibat dalam melayani jemaah.
Meskipun sempat dihapus, peran ini kembali diakui pada era Orde Baru dengan diperkenalkannya sistem ONH Plus pada 1987. Sistem ini menjadi sub-sistem dari penyelenggaraan haji oleh pemerintah yang biaya, kuota, dan aturannya tetap diatur oleh pemerintah.
Pengakuan resmi terhadap peran swasta ini semakin kuat pada masa Presiden B.J. Habibie dengan disahkannya Undang Undang Nomor 7 Tahun 1999. Undang Undang ini secara sah mengakui penyelenggaraan haji khusus oleh pihak swasta.
Langkah ini dianggap strategis karena memberikan alternatif bagi masyarakat untuk menunaikan ibadah haji tanpa harus menunggu antrean yang panjang. Antrean haji reguler di Indonesia bisa mencapai belasan hingga puluhan tahun, bahkan ada yang sampai 47 tahun. Sementara itu, haji khusus dapat memangkas waktu tunggu menjadi 5 hingga 9 tahun.
Pandangan bahwa haji khusus mencerminkan ketidakadilan pun dianggap keliru. Ibadah haji memang diperuntukkan bagi mereka yang memiliki Istitha'ah, yaitu kemampuan dan kesiapan fisik, mental, finansial, dan keamanan.
Biaya perjalanan haji khusus yang ditanggung penuh oleh jemaah sejalan dengan konsep ini. Lebih dari sekadar memenuhi kebutuhan jemaah, haji khusus juga memainkan peran penting dalam ekosistem ekonomi.
Alokasi kuota haji khusus dapat membantu menopang dana haji secara keseluruhan dan berpotensi menjadi penggerak ekonomi umat, menciptakan lapangan kerja, dan mendukung industri pariwisata Islami di Indonesia.