Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
pixabay.com/

Jakarta, IDN Times - Fia, 27, terpaksa membeli tiket dari Makassar ke Jakarta meski mahal, sejak harga tiket pesawat mengalami kenaikan yang cukup tinggi.

“Makassar ke Jakarta yang biasanya lebaran itu naik ke harga Rp1,2 jutaan, selain Garuda. Ini di hari yang low season aja maskapai paling murah udah Rp1 jutaan dan itu pun Lion,” katanya kepada IDN Times.

Ia tidak bisa lagi sering terbang ke Makassar menemui suaminya yang bekerja di sana. Padahal tahun lalu ia bisa pulang-pergi Makassar-Jakarta hingga 4 kali dalam setahun. Baru-baru ini ia membeli tiket untuk terbang ke sana dalam waktu dekat. “Karena butuh mudik, mau gak mau ya tetep dibeli walaupun mahal," ujar Fia.

"Tapi kayanya tahun ini cuma lebaran aja, terus tunggu lebaran lagi tahun depan,” ujarnya lagi.

Begitu pun dengan Lily, 27, yang mengalami dampak negatif dari lonjakan harga tiket pesawat. Begitu mahal harga itu, hingga membuat dia nyaris membatalkan liburan ke Bali bersama temannya yang sudah direncanakan jauh hari.

“Gue mau liburan sama temen SD gue yang dari Kerinci, Jambi. Ini direncanain sebelum tiket pesawat pada naik. Sampai minggu lalu itu tiket gak turun-turun kan harganya, sebel lah kita. Tiket ke Bali dari Jambi itu Rp1,9 juta dan cuma Lion, kalau mau Batik atau Citilink Rp2,6-2,7 juta,” keluhnya.

Lily memutar otak agar rencananya tetap bisa berjalan. Ia mengubah destinasinya ke Jogja. Itu pun menggunakan kereta. “Pada akhirnya gue sama temen gue memutuskan gak jadi Bali, akhirnya ke Jogja aja."

Pun untuk berangkat ke Jogja, masih dirasa berat untuk teman SD Lily yang tinggal di Jambi, "karena tiketnya juga masih mahal, Rp1,5 juta Jambi-Jogja. Akhirnya dia ke Jakarta dulu dengan harga Rp800 ribu, baru kita dari Jakarta naik kereta ke Jogja cuma Rp74 ribu, jadi hemat hampir Rp600 ribu,” kisah Lily.

Apa yang diungkapkan Fia dan Lily dibenarkan oleh Sekjen DPP Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA), Titus Indrajaya. Ia menyebut banyak konsumen menahan diri untuk melakukan perjalanan menggunakan pesawat. “Jadi daya minat konsumen untuk wisata, konsumen mulai menahan,” ujarnya.

Ketua Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi PHRI Maulana Yusran menyebut kenaikan tiket ini sebagai yang terparah. “Ini kita anggap tahun yang terparah kalo year on year,“ katanya.

Tidak hanya Fia atau Lily sebagai konsumen atau wisatawan yang dirugikan. Belakangan ini telah terjadi dampak ganda atau multiplier effect atau efek domino dari mahalnya harga tiket pesawat.

1. Hotel yang mengalami penurunan hingga 40 persen

IDN Times/Rahmat Arief

Imbas mahalnya harga tiket pesawat salah satunya dirasakan oleh sektor perhotelan yang mengalami penurunan hingga 40 persen berdasarkan rapat kerja nasional PHRI Februari 2019.

“Karena banyak orang menginap untuk bisnis atau wisata. Imbasnya 20 sampai 40 persen. Selama 4 bulan ini sudah lampu merah,” kata Yusran.

Data serupa disampaikan oleh peneliti INDEF Bhima Yudhistira yang mengatakan dampak terhadaphotel sudah terlihat sejak tahun lalu. Mengutip data BPS, Bhima menyebut beberapa hotel di luar Pulau Jawa mendapat tingakt hunian kamar atau occupancy rate minus.

”Hotel paling terdampak tiket mahal ada di luar Jawa. Per Desember 2018 tingkat hunian kamar anjlok minus 14,37 poin di Aceh dan Sumatera Utara. Sulawesi tengah bahkan minus 14,3 poin. Hotel bintang 1 occupancy rate menurun 4,5 poin jadi 44,1 persen,” jelasnya.

2. Mempengaruhi UMKM dan munculkan ancaman pemecatan pemandu wisata

Editorial Team

Tonton lebih seru di