Ekonomi AS Terancam, Goldman Sachs Naikkan Peluang Resesi

Intinya sih...
- Goldman Sachs memperingatkan ancaman resesi di Amerika Serikat akibat kebijakan tarif Trump.
- Tarif baru diperkirakan menggerus daya beli masyarakat AS hingga 15 persen pada 2025.
Jakarta, IDN Times – Goldman Sachs memperingatkan ancaman resesi di Amerika Serikat semakin nyata akibat eskalasi perang dagang yang dipicu oleh kebijakan tarif Presiden Donald Trump. Bank investasi tersebut kini memperkirakan peluang resesi dalam 12 bulan ke depan melonjak menjadi 35 persen dari sebelumnya 20 persen.
Lonjakan tarif yang agresif diperkirakan bakal menekan laju pertumbuhan ekonomi, mengerek inflasi, dan mendorong angka pengangguran naik. Goldman Sachs juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi AS pada 2025 menjadi hanya 1 persen serta merevisi perkiraan tingkat pengangguran menjadi 4,5 persen di akhir tahun.
1. Tarif baru berpotensi menekan konsumsi
Goldman Sachs menyoroti dampak tarif baru yang berisiko menggerus daya beli masyarakat. Bank tersebut memperkirakan tarif rata-rata AS akan melonjak 15 persen pada 2025, lebih tinggi dari prediksi awal sebesar 10 persen.
Lonjakan tarif ini dipicu oleh kemungkinan penerapan kebijakan balasan yang lebih agresif terhadap mitra dagang AS. Meski beberapa negara dan produk berpotensi mendapat pengecualian, Goldman Sachs tetap melihat kenaikan harga sebagai ancaman serius bagi konsumsi domestik.
“Tarif yang lebih tinggi kemungkinan besar akan meningkatkan krisis konsumen,” tulis ekonom Goldman Sachs dalam laporan mereka, dikutip dari CNN Internasional.
Menurut mereka, harga yang lebih mahal bakal mengikis pendapatan riil masyarakat dan memperburuk kondisi ekonomi.
2. Prediksi stagflasi, inflasi bisa tembus 3,5 persen
Selain memperlambat laju ekonomi, kebijakan tarif Trump juga diprediksi memanaskan inflasi di atas target Federal Reserve. Goldman Sachs memperkirakan inflasi inti—yang tidak memasukkan harga pangan dan energi—akan meroket ke 3,5 persen pada akhir 2025, naik dari estimasi sebelumnya sebesar 3 persen.
Ekonomi AS kini menghadapi ancaman stagflasi, yaitu kombinasi antara pertumbuhan yang loyo dan inflasi yang meroket. Situasi serupa terakhir kali terjadi pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an ketika bank sentral AS, yang saat itu dipimpin oleh Paul Volcker, mengerek suku bunga secara drastis demi meredam inflasi.
Namun, Goldman Sachs menilai kondisi saat ini berbeda. Bank tersebut justru memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga sebanyak tiga kali tahun ini guna meredam dampak perlambatan ekonomi.
3. Kebijakan Trump berpotensi mengguncang perdagangan global
Kebijakan tarif Trump yang agresif juga berpotensi mengguncang perdagangan global. Selama kampanye, Trump berjanji akan menggunakan tarif sebagai senjata ekonomi, tetapi banyak pihak terkejut dengan seberapa jauh ia merealisasikan janji tersebut.
Saat berada di pesawat kepresidenan Air Force One, Trump membantah laporan dari Bloomberg dan The Wall Street Journal yang menyebut bahwa pemerintahannya akan menerapkan tarif secara bertahap pada beberapa negara dengan defisit dagang terbesar.
“Anda akan memulainya dengan semua negara, jadi mari kita lihat apa yang terjadi,” kata Trump, menepis rumor bahwa hanya 10 atau 15 negara yang akan terkena tarif lebih dulu.
Sementara itu, penasihat senior Gedung Putih untuk perdagangan dan manufaktur, Peter Navarro, memperkirakan bahwa tarif Trump dapat menghasilkan pendapatan hingga 600 miliar dolar AS per tahun.
“Ini adalah peningkatan pajak bersejarah yang bisa menaikkan biaya hidup jutaan orang Amerika,” kata Navarro dalam wawancara dengan Fox News Sunday.
Goldman Sachs kini memperkirakan bahwa dampak tarif ini akan lebih besar dari yang sebelumnya diasumsikan oleh pelaku pasar.
“Kami terus percaya bahwa risiko dari tarif 2 April lebih besar dari yang diasumsikan banyak pelaku pasar,” tulis tim ekonomi Goldman Sachs dalam catatan mereka, dikutip dari CNBC International.
Dengan kebijakan tarif yang semakin agresif, pasar kini bersiap menghadapi potensi gejolak yang lebih luas terhadap perekonomian global.