Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-07-09 at 17.52.43 (1).jpeg
Ketua Institut Harkat Negeri, Sudirman Said dalam program Real Talk with Uni Lubis pada Rabu (09/07/2025) (IDN Times/Alya Achyarini)

Intinya sih...

  • Impor minyak AS kurang fleksibel, hubungan baik dengan negara lain lebih menguntungkan

  • Kilang RI masih butuh crude berat, kebutuhan minyak mentah dari jenis tertentu tetap penting

  • Pemerintah harus serahkan negosiasi ke Pertamina, korporasi turut dilibatkan dalam proses negosiasi

Jakarta, IDN Times - Ketua Institut Harkat Negeri sekaligus mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, menyoroti perlunya kehati-hatian dalam kebijakan impor energi dari Amerika Serikat (AS). Hal itu disampaikan dalam program Real Talk with Uni Lubis, Rabu (9/7/2025), menanggapi rencana pemerintah yang melibatkan PT Pertamina (Persero) dalam proposal pembelian minyak mentah dari AS sebagai bagian dari negosiasi penurunan tarif dagang.

Di satu sisi, Sudirman menilai pelibatan badan usaha dalam pembelian produk serta investasi merupakan hal positif. Menurutnya, hal itu mencerminkan kemampuan Indonesia untuk mengorganisasi kepentingan nasional secara bersama dalam kerangka Indonesia Incorporated sebagai dasar negosiasi.

"Tapi, sekarang kita bicarakan soal energi. Kalau bicara suplai itu, kita butuh dua unsur tuh. Satu namanya security of supply, artinya kontrak jangka panjang, apapun produknya, dan sebetulnya bisa kita lakukan mayoritas, karena sudah tahu lah. Tahun depan 10 tahun lagi seperti apa. Yang sisi lainnya namanya flexibility," katanya.

1. Impor minyak AS dinilai kurang fleksibel

Kapal tanker PT Pertamina International shipping (PIS) (dok. PIS)

Dia menyebut format kerja sama yang bersifat jangka panjang seperti yang dirancang dalam proposal saat ini justru berpotensi mengurangi fleksibilitas. Sudirman lantas mempertanyakan apakah impor dari AS merupakan pilihan terbaik.

Menurut pengalamannya, hubungan baik dengan negara lain, khususnya pemasok minyak memungkinkan Indonesia untuk memperoleh ketentuan kerja sama yang lebih menguntungkan, terutama bila tidak terikat secara eksklusif dengan satu negara pemasok.

"Saya mengalami sendiri, persahabatan seperti itu, ketemu, begitu kita ngomong, butuh sekian dalam jangka sekian, itu bisa memperoleh term-term yang kadang-kadang munculnya dalam perjalanan. Nah, kalau kita terlanjur terikat pada satu pihak, kan kehilangan kesempatan itu," ujar Sudirman.

2. Kilang RI masih butuh crude berat

PT Kilang Pertamina Balikpapan (PT KPB) menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahun Buku 2024 pada Senin, 23 Juni 2025, di Patra Jasa Office Tower, Jakarta, Senin (23/6/2025). Foto Pertamina

Terkait jenis minyak mentah, Sudirman menjelaskan sebagian kilang di Indonesia masih berkapasitas rendah dan hanya dapat mengolah heavy crude atau minyak mentah berat.

Meski ada upaya peningkatan kompleksitas kilang, dia menyebut belum seluruhnya berhasil. Oleh sebab itu, kebutuhan minyak mentah dari jenis tertentu tetap menjadi pertimbangan penting dalam keputusan impor dari Negara Paman Sam.

"Nah, apakah memerlukan crude dari AS? Bisa saja perlu, tapi kembali dari segi logistik, jaraknya jauh, dari segi harga. Mungkin kita bisa nego dengan para produsen yang skalanya lebih besar," tuturnya.

3. Pemerintah harus serahkan negosiasi ke Pertamina

Kantor Pertamina (dok. Pertamina)

Lebih lanjut, Sudirman menekankan Pertamina sebagai pihak yang akan melakukan pembelian seharusnya turut dilibatkan dalam proses negosiasi. Jadi, keputusan impor tidak dipaksakan dari level negara kepada korporasi.

"Jadi bukan negara memutuskan, kemudian korporasi menjadi pelaksana keputusan yang belum tentu mendapat satu best benefit dari keputusan negara itu," ujar Sudirman.

Editorial Team