PLTU Suralaya menyumbang 10 persen dari energi listrik kebutuhan Jawa, Madura dan Bali dengan kapasitas Daya Mampu Netto (DMN) dan Daya Mampu Pasok (DMP) sebesar 3.221,6 MW. (dok. PLN)
Namun, di tengah meningkatnya tuntutan dekarbonisasi global dan kebijakan energi bersih, peran pembangkit listrik berbahan bakar fosil perlu mulai dikurangi secara bertahap.
“Sistem tenaga listrik kita tidak bisa serta-merta meninggalkan PLTU. Pembangkit ini masih memiliki peran signifikan dalam menjaga keandalan pasokan listrik, sehingga keberadaannya masih sangat dibutuhkan. Namun demikian, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap semakin kuatnya tuntutan dekarbonisasi, baik dari sisi kebijakan nasional maupun dinamika ekonomi global,” ungkapnya.
Selain PLTU, pembangkit listrik tenaga gas (PLTG/PLTGU) juga memegang peran penting, terutama di wilayah perkotaan dan pusat-pusat ekonomi. Karakteristiknya yang lebih fleksibel memungkinkan pembangkit jenis ini mengikuti fluktuasi permintaan listrik serta berfungsi sebagai load follower dan peaker ketika beban meningkat secara tiba-tiba.
“Fleksibilitas tersebut akan semakin penting di masa mendatang, seiring meningkatnya penetrasi energi baru terbarukan (EBT) variabel seperti tenaga surya dan bayu, yang produksinya sangat bergantung pada kondisi cuaca dan kecepatan angin,” tambahnya.
Meskipun porsi EBT baru mencapai sekitar 10,4 persen dari total kapasitas nasional, capaian ini merupakan hasil dari perjalanan panjang dan tantangan berat di lapangan—mulai dari pembangunan PLTA di daerah terpencil, eksplorasi panas bumi di kawasan hutan, hingga pengembangan PLTS yang tumbuh cepat namun masih bersifat intermiten.
Pemerintah menegaskan komitmennya untuk terus mempercepat pengembangan energi terbarukan guna memperkuat ketahanan energi nasional dan mendukung target net zero emission pada 2060 atau lebih cepat.