Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)
Kebijakan terkait ekonomi sirkular butuh diterapkan secara komprehensif dari seluruh aktor yang perlu mengambil bagian dalam hal ini. Maka itu, kebijakan tersebut bisa dikaji dari sisi industri dan fiskal.
Dari sisi industri, diadakannya Tingkat Komponen Dalam negeri (TKDN). TKDN itu sendiri adalah besarnya komponen dalam negeri pada barang, jasa dan gabungan barang dan jasa.
“Nanti memang kedepan, kalau ini memang menjadi bagian, harus ada plus, gitu lho. TKDN-nya juga, misalnya dibedakan, TKDN yang memang TKDN dari linear ekonomi atau TKDN dengan sirkular gitu. Dari sisi kementerian, mungkin bisa seperti itu ya, simple thing-nya mereka, misalnya,diminta TKDN berapa plus sirkularnya berapa, ” jelas Teguh
Di sisi lain, yaitu fiskal, Kementerian Keuangan, bisa mengadakan insentif khusus. “Dalam konteks ini, misalnya kita nanti ada isu PPn, bagaimana misalnya nanti kalau dia sirkular atau apapun, gitu, misalnya, dapet PPn-nya berbeda-beda. Jadi, sistem PPn-nya berbeda-beda, gitu.”
Selain itu, dari sisi finansial, bagaimana Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) itu bisa memberikan aturan tertentu.
“Misalnya, kreditnya gitu, kan selama ini baru ada komponen misalnya, setiap kredit sebesar X, maka harus ada ke UMKM. Sekarang baru ke arah situ, nanti kedepan bahwa your credit harus masuk ke pembiayaan, misalnya green atau apa yang mendukung sirkular. Kalau misalnya aturannya seperti itu, memang akan bergerak,” tutur Teguh.
Dengan demikian, ke depannya, dunia usaha, terutama yang besar- besar akan sangat berpikir ke arah ekonomi sirkular. Hal ini karena para financial services ataupun investor dari luar negeri akan mencari usaha-usaha yang sirkular.