ilustrasi truk (IDN Times/Ridwan Aji Pitoko)
Selain tidak berfungsinya jembatan timbang dengan baik, maraknya angkutan ODOL juga disebabkan oleh para pengemudi truk yang tidak terdidik dengan baik dan benar.
Menurut Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), hal itu berbanding terbalik dengan kondisi di angkutan lainnya seperti pesawat yang membutuhkan mekanisme sertifikasi seorang pilot, mulai dari proses belajar untuk memperoleh Student License Pilot. Kemudian saat diizinkan membawa pesawat pribadi melalui Private License Pilot dan setelah terbang 1.500 jam, baru boleh ikut sertifikasi untuk dapat Commercial License Pilot.
Setelah dapat sertifikat license, pilot tidak serta merta bisa menerbangkan semua pesawat. Mereka mesti memperoleh sertifikat untuk setiap jenis pesawat yang akan diterbangkan karena setiap pesawat beda merk, beda tipe, dan teknologinya bisa berbeda.
Demikian juga di kapal, bagaimana seorang nakhoda harus memperoleh sertifikasi melalui ANT 5 sampai dengan ANT 1. Hal sama berlaku untuk masinis kereta. Mereka semua yang mengendalikan alat transportasi benar benar dipersiapkan untuk dapat memahami alat transportasinya, lintasan serta bahaya bahaya yang akan dihadapinya.
"Selama 20 tahun lebih, di Indonesia belum pernah ada sekolah mengemudi bagi pengemudi bus dan truk. Sementara kendaraan kendaraan itu memiliki merek, tipe dan teknologi yang berbeda beda," tutur Plt Ketua Subkomite Lalu Lintas Angkutan Jalan KNKT, Ahmad Wildan.
"Sistem rem saja ada yang hidrolik, pneumatic maupun kombinasi keduanya. Belum lagi teknologinya sekarang bukan lagi otomotif, melainkan sudah bridging ke ototronik dan mekatronik dan sebentar lagi electrical vehicle," imbuhnya.
Pengemudi bus dan truk di Indonesia selama ini belajar secara otodidak, dari teman- temannya dan lain-lain. Tidak ada yang belajar secara terstruktur sebagaimana di moda transportasi lainnya.
Oleh sebab itu KNKT membuat rekomendasi ke pemerintah agar segera membuat sekolah pengemudi bagi pengemudi bus dan truk.
KNKT mencontohkan, kasus truk trailer di Bekasi yang membawa muatan 50 ton dengan jumlah berat keseluruhan mencapai 70 ton lebih.
"Pengemudi berani membawa dengan kendaraan 260 PS yang hanya memiliki kemampuan mesin dan sistem pengereman yang pada kondisi barunya saja didesain untuk berat total maksimal di 35 ton," kata Wildan.
Menurut Wildan, pengemudi menaruh muatan berlebih di truknya bukan karena seorang pemberani, melainkan dia tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang power weight to ratio.
Selain itu, pengemudi juga tidak mengetahui risiko apa saja yang akan dihadapi ketika dia melakukan itu.
"Itulah sebabnya, KNKT menyarankan agar dalam pemberantasan truk ODOL, selain upaya penegakkan hukum, pemerintah juga melakukan edukasi kepada pengemudi yang diawali dengan membuat sekolah mengemudi bagi pengemudi bus dan truk," ujar Wildan.
Dudy pun berpendapat bahwa para pengemudi truk sejatinya perlu mendapatkan pelatihan layaknya pilot, masinis, atau nahkoda.
“Kemenhub melalui Ditjen Perhubungan Darat akan memberikan pelatihan kepada para pengemudi truk, baik yang menyangkut hal-hal teknis hingga edukasi terkait ketentuan-ketentuan yang berlaku di jalan raya,” kata dia.
Dudy menegaskan pemerintah harus berani maju selangkah untuk menciptakan rasa aman dan nyaman kepada semua pengguna jalan.
”Kalau kita ingin menata sektor transportasi, perlu ada satu langkah yang harus kita mulai, daripada tidak sama sekali,” ujarnya.