Perdana Menteri India, Narendra Modi. (Prime Minister's Office (GODL-India), GODL-India, via Wikimedia Commons)
Ishiba menilai pasar India yang luas bisa menjadi mesin baru bagi pertumbuhan ekonomi Jepang. Pernyataan bersama mencatat desakan Ishiba agar India mempertahankan reformasi regulasi demi mempermudah perusahaan Jepang masuk lebih dalam ke rantai pasok India. Modi merespons dengan komitmen untuk terus melanjutkan reformasi sekaligus mendorong lebih banyak investor Jepang masuk ke negaranya.
Dalam forum ekonomi di Tokyo, Modi mengajak pelaku bisnis Jepang menjadikan India sebagai pusat manufaktur untuk pasar global. Ia menekankan kombinasi kekuatan dua negara.
“Kami percaya teknologi Jepang dan talenta India adalah kombinasi yang unggul,” ujarnya.
Saat ini, perdagangan kedua negara bernilai lebih dari 20 miliar dolar AS (setara Rp329 triliun) per tahun, dengan Jepang masih memegang keunggulan.
Economic Security Initiative mencakup percepatan diskusi kebijakan di tingkat kementerian luar negeri untuk memilih proyek strategis, mulai dari semikonduktor hingga kecerdasan buatan (AI). Agenda itu juga mencakup Digital Partnership 2.0 dan AI Cooperation Initiative.
Ajay Srivastava dari Global Trade Research Initiative (GTRI) menilai keberhasilan kesepakatan akan ditentukan pada hasil industri nyata. Ia menyebut Jepang punya teknologi mutakhir tetapi biaya produksi tinggi, sementara India menawarkan skala besar, tenaga kerja, dan efisiensi.
Srivastava mengingatkan agar kolaborasi diarahkan ke usaha patungan mirip model Suzuki-Maruti tahun 1983 yang mengubah otomotif India menjadi cerita sukses global. Ia melihat peluang besar dalam rantai pasok bersama untuk komputer, laptop, sel surya, dan baterai kendaraan listrik.
Kesepakatan ini juga datang di tengah beban tarif tinggi dari Amerika Serikat (AS), yakni 50 persen untuk India dan 15 persen untuk Jepang. Capaian target lama sebesar 5 triliun yen atau Rp560 triliun dalam periode 2022–2026 yang diraih lebih cepat, menjadi modal optimisme baru.