ilustrasi transaksi perbankan (unsplash.com/NickPampoukidis)
Menurut Keynes, suku bunga ditetapkan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran uang. Premis utamanya adalah secara alamiah, setiap orang lebih suka memegang aset dalam bentuk likuid, di mana uang tunai merupakan aset yang paling likuid agar dapat dikonversi menjadi kas dengan cepat dan biaya minimal.
Namun, suku bunga berfungsi sebagai insentif yang mendorong orang melepaskan aset likuid (uang tunai) dan memilih aset yang kurang likuid seperti obligasi. Obligasi menawarkan pendapatan bunga, tetapi dianggap kurang likuid karena proses pencairannya tidak secepat uang tunai. Semakin tidak likuid sebuah obligasi, diklaim semakin tinggi tingkat bunga yang harus ditawarkan untuk menarik investor.
Teori tersebut menegaskan suku bunga akan naik ketika preferensi likuiditas tinggi, sebab saat itu orang ingin menimbun uang tunai. Hal ini menyebabkan pasokan uang berkurang dan harga obligasi turun.
Kenaikan suku bunga menjadi kompensasi agar orang bersedia melepaskan likuiditasnya. Sebaliknya, ketika preferensi likuiditas rendah (orang lebih suka berinvestasi), pasokan uang meningkat dan suku bunga cenderung turun.
Keynes, yang merupakan ekonom Inggris berpengaruh abad ke-20, dikenal luas dengan teori-teori ekonominya yang kini disebut sebagai Ekonomi Keynesian.
Dalam karya monumentalnya pada tahun 1936, “The General Theory of Employment, Interest, and Money,” ia menantang pemikiran konvensional dan menekankan pentingnya intervensi pemerintah untuk menstabilkan perekonomian saat menghadapi krisis. Teori preferensi likuiditas merupakan salah satu kontribusi utamanya yang membentuk fondasi makroekonomi modern.