Industri pertambangan berkontribusi besar kepada pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, ini kerap dikaitkan dengan stigma kerusakan lingkungan. Dalam praktiknya, hutan yang semula lebat bisa menjadi lahan gundul dan meninggalkan lubang bekas galian tambang. Jika tidak dikelola dengan baik, kerusakan ini dapat memicu bencana alam pada kemudian hari.
Oleh karena itu, pertambangan bukan sekadar mengeksploitasi sumber daya mineral. Perusahaan juga punya tanggung jawab besar, terutama menjaga keseimbangan lingkungan. Di sini, upaya reklamasi menjadi solusi utama untuk mengembalikan ekosistem alam agar kembali produktif.
Sebagai pemasok 5 persen kebutuhan nikel dunia, PT Vale Indonesia berkomitmen menjalani praktik pertambangan berkelanjutan melalui inisiatif #MenambangKebaikan. Tidak hanya fokus kepada eksplorasi nikel, perusahaan ini juga bertanggung jawab menjalankan reklamasi progresif.
PT Vale Indonesia memiliki total lahan konsesi seluas 118.017 Hektar (Ha), yang mencakup Blok Sorowako (70.66 Ha), Blok Bahadopi (22.699 Ha), dan Blok Pomalaa (24.754 Ha). Sebagai perusahaan yang menggunakan metode open cast mining (penambangan terbuka), lahan bekas tambang tidak dibiarkan begitu saja, tetapi dipulihkan menjadi hutan yang kembali hijau. Lantas, bagaimana upaya PT Vale Indonesia merehabilitasi lahan bekas tambang menjadi hutan rindang?