ilustrasi sel saraf tubuh (pixabay.com/geralt)
Dilansir Investopedia, dalam teori ekonomi klasik, pengambilan keputusan didasarkan pada pilihan rasional. Investor dianggap mampu menilai risiko secara objektif dan selalu bereaksi dengan cara yang paling logis. Akan tetapi, teori tersebut memperlakukan cara kerja pikiran manusia seperti kotak hitam yang sulit diakses.
Ekonomi perilaku mulai menembus keterbatasan itu dengan memasukkan wawasan dari psikologi untuk menjelaskan mengapa manusia sering tidak mengikuti pilihan rasional. Neuroekonomi kemudian melangkah lebih jauh dengan mempelajari hubungan antara keputusan ekonomi dan fenomena yang bisa diamati di otak manusia maupun hewan.
Penelitian menunjukkan, emosi sangat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Otak cenderung lebih sensitif terhadap kerugian dibandingkan keuntungan. Kondisi itu dapat memicu perilaku irasional, termasuk munculnya gelembung aset hingga krisis keuangan.
Studi neuroekonomi juga dilakukan melalui eksperimen observasional maupun intervensi langsung pada otak subjek. Para peneliti biasanya menggunakan teknologi seperti pencitraan resonansi magnetik (MRI), tomografi emisi positron (PET), serta tes darah atau air liur untuk mengukur kadar hormon dan neurotransmiter.