Ilustrasi Belanja (IDN Times/Arief Rahmat)
Ia lebih lanjut mengatakan bahwa mengkategorikan sebagai “predator” produsen yang berhasil memperluas porsi pasarnya dengan produktivitas yang tinggi atau pengelolaan biaya yang baik, merupakan preseden buruk bagi ekonomi karena justru akan menghambat kompetisi dan inovasi di pasar.
Menurut Thomas pada prinsipnya, suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai praktik tarif predator apabila memenuhi tiga kondisi, yaitu perusahaan predator menetapkan harga di bawah biaya produksi, mengalahkan pesaing untuk mendominasi pasar dan setelahnya menetapkan harga yang sangat tinggi untuk menutup kerugian mereka. Ketiadaan unsur-unsur ini membuat pelabelan tarif predator pada pelaku usaha menjadi tidak berdasar.
Ia juga menyebut bahwa upaya membedakan antara harga predator dan harga kompetitif memang tidak mudah. Namun Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah mengeluarkan pedoman dengan berbagai opsi pengujian untuk menentukan apakah predatory pricing berada dibalik rendahnya suatu harga, katanya.
Thomas juga menyatakan pangsa pasar yang kecil dari pelaku usaha asing dengan sendirinya mengurangi kemungkinan terjadinya praktik tarif predator, karena akan sangat tidak efisien bagi mereka untuk memaksa mendorong para pelaku usaha lokal keluar dari pasar hanya dengan instrumen harga.
“Selanjutnya, tingginya partisipasi pelaku usaha eceran pada pasar digital juga menandakan bahwa pembatasan kuota terhadap peredaran barang asing juga akan melukai tidak hanya para pembeli, tetapi juga para UKM eceran tersebut. Karenanya, opsi ini harus diberikan prioritas yang paling rendah,” jelas Thomas.