Ilustrasi pedagang menjual minyak goreng curah (IDN Times/Rohmah Mustaurida).
MGCR sendiri disediakan khusus untuk masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah, serta pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Namun, Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira menilai penggunaan PeduliLindungi tak menutupi ancaman distribusi MGCR tak tepat sasaran, misalnya seperti dialirkan ke industri.
"Celah penyimpangan dan kebocoran penjualan migor ke kelas menengah atas dan industri bisa meningkat," ujar Bhima ketika dihubungi IDN Times.
Apalagi, saat ini pemerintah menetapkan kuota pembelian MGCR sebanyak 10 kg/NIK/hari.
"Industri besar maupun orang mampu akan gunakan NIK yang berbeda-beda, bisa misalnya pakai NIK karyawan dipinjam untuk borong migor program pemerintah. Ini nanti kontraproduktif untuk pengawasan dan sebenarnya terjadi pergeseran saja, kelas menengah atas yang tadinya beli minyak goreng harga pasar beralih ke program pemerintah," ucap Bhima.
Di sisi lain, akses internet juga masih timpang. Dia hanya ada 14 persen desil terbawah atau rumah tangga miskin yang mengakses internet. Penggunaan PeduliLindungi yang membutuhkan sambungan internet dinilai bisa menghambat masyarakat kecil membeli minyak goreng curah Rp14 ribu/liter.
"Begitu juga dengan UMKM baru 20 persen yang masuk ekosistem digital. Itu bukti kebijakan yang tadinya seolah canggih dengan aplikasi, tapi ternyata bias kelas. Yang harusnya dipermudah justru malah dipersulit membeli minyak goreng curah," kata Bhima.
Menurutnya, untuk memastikan penyaluran MGCR bisa tepat sasaran, pemerintah perlu mengintegrasikan proses verifikasi NIK dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang ada di Kementerian Sosial (Kemensos).
"Selama verifikasi NIK tidak disinkronkan dengan DTKS, atau data pengeluaran per kelompok masyarakat maka susah untuk menjamin minyak goreng curah tepat sasaran," ujar Bhima.