Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dalam Seremoni Serah Terima Aset Eks BLBI. (IDN Times/Ridwan Aji Pitoko)
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dalam Seremoni Serah Terima Aset Eks BLBI. (IDN Times/Ridwan Aji Pitoko)

Jakarta, IDN Times - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pemerintah masih memiliki tagihan yang harus dibayar untuk perawatan pasien COVID-19 tahun lalu.

Tagihan melebihi Rp20 triliun tersebut menunjukkan bahwa penanganan COVID-19 membutuhkan biaya yang tidaklah murah.

"Masih ada tagihan Rp23 triliun pada 2022 yang harus kita bayar dari perawatan di tahun 2021," ucap Sri Mulyani dalam BRI Microfinance Outlook 2022, Kamis (10/2/2022).

1. Tagihan akibat melonjaknya kasus COVID-19 pada pertengahan 2021

ilustrasi pasien COVID-19 (ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)

Masih banyaknya tagihan perawatan pasien COVID-19 yang belum dibayarkan, tak terlepas dari lonjakan kasus akibat varian Delta pada pertengahan tahun lalu.

Hal itu membuat pemerintah mesti merogoh kocek dalam-dalam demi menganggarkan dana penanganan kesehatan masyarakat.

"Belanja kesehatan akibat naiknya Delta terutama untuk perawatan, kami sudah keluarkan hampir Rp94 triliun untuk membayarkan masyarakat kita yang dirawat akibat COVID," kata Sri Mulyani.

2. Belanja negara dari APBN banyak untuk penanganan kesehatan

Petugas kesehatan bersiap mengantar pasien orang tanpa gejala (OTG) COVID-19 ke atas KM Umsini di Pelabuhan Sukarno Hatta, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (2/8/2021). (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Sri Mulyani mengakui, sepanjang 2021 lalu belanja negara dari APBN memang paling banyak untuk penanganan kesehatan akibat pandemik COVID-19.

Tak heran jika dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) paling besar dianggarkan untuk penanganan kesehatan.

"Sehingga kita bisa melihat bahwa COVID is so expensive. Itu baru dari perawatan saja, belum termasuk vaksinasi," kata Sri Mulyani.

3. Defisit APBN 2021 turun signifikan

Ilustrasi rugi (IDN Times/Arief Rahmat)

Kendati begitu, Sri Mulyani tetap bertekad menyehatkan kembali APBN seperti level pra pandemik. Hal itu tercermin lewat defisit atau tekor APBN 2021 yang turun signifikan.

Penurunan tekor APBN sejalan dengan pulihnya penerimaan negara dan belanja negara yang tetap dijaga untuk pemulihan ekonomi.

"Kalau 2020 kita mengalami defisit Rp947 triliun atau 6,14 persen dari GDP, maka tahun 2021 kemarin kita tutup unaudited adalah pada level Rp783,7 triliun atau 4,65 persen dari GDP," kata Sri Mulyani.

Capaian defisit APBN itu pun lebih rendah jika dibandingkan dengan apa yang telah dicantumkan dalam Undang Undang APBN.

Di dalam UU APBN, defisit 2021 ditargetkan ada pada kisaran Rp1.000 triliun atau 5,70 persen dari GDP.

"Tadinya defisit 2021 itu menurut UU APBN ada di Rp1.006 triliun. Jadi, realisasinya di Rp783,7 triliun atau dalam hal ini 17 persen lebih rendah dari yang ditargetkan. Nah ini yang menggambarkan APBN kita walaupun kerja extremely keras, tapi kita mencoba untuk mulai menyehatkan," tutur Sri Mulyani.

Editorial Team