Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi tambang batu bara (IDN Times/Aditya)
Ilustrasi tambang batu bara (IDN Times/Aditya)

Intinya sih...

  • Pemerintah akan memberlakukan bea keluar batu bara mulai 2026

  • Bea keluar ini dimaksudkan untuk menciptakan kesetaraan iklim usaha antara batu bara dan komoditas ekspor unggulan lainnya

  • Kebijakan ini dianggap strategis karena penerimaan dari ekspor batu bara semakin menantang akibat tren harga global yang melemah

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, membuka peluang pengenaan bea keluar batu bara yang direncanakan berlaku mulai 2026. Pemerintah saat ini masih mengkaji besaran tarif dan berbagai pertimbangan strategis.

“Sedang dibicarakan, mungkin tahun depan (diimplementasikan),” kata Purbaya, Kamis (27/11/2025).

1. Daya saing komoditas batu bara dipastikan tidak terdampak

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat ditemui di Kemenko Perekonomian. (IDN Times/Trian).

Purbaya menegaskan, meski ada pengenaan tarif, daya saing batu bara Indonesia di pasar internasional tidak akan terdampak. Hanya saja, keuntungan yang diterima pengusaha diprediksi menurun.

"Kalau (perusahaan tambang batu bara) pasti menolak karena kena tarif. Sebagian dari kita melihat dibandingkan barang tambang lain seperti minyak, batu bara lebih sedikit (setoran penerimaan) dibandingkan yang lain," tegas Purbaya.

Pengenaan bea keluar ini juga dimaksudkan untuk menciptakan kesetaraan iklim usaha antara batu bara dan komoditas ekspor unggulan lainnya, seperti minyak mentah.

2. Tak menampik akan muncul penolakan dari eksportir batu bara

Ilustrasi tongkang mengangkut batu bara (IDN Times/Yuda Almerio)

Kebijakan ini berpotensi mendapat penolakan dari eksportir batu bara karena pengenaan tarif. Namun, Purbaya menekankan, pemerintah melihat kontribusi batu bara terhadap penerimaan negara saat ini masih lebih rendah dibandingkan minyak dan komoditas lainnya.

“Kalau perusahaan tambang batu bara pasti menolak karena terkena tarif. Sebagian dari kita melihat bahwa dibandingkan barang tambang lain seperti minyak, kontribusi batu bara terhadap penerimaan masih lebih kecil,” bebernya.

Selain itu, Purbaya membandingkan beban pungutan batu bara dengan skema Production Sharing Contract (PSC) di sektor migas, di mana pemerintah bisa memperoleh hingga 85 persen porsi bagi hasil, sementara kontraktor hanya 15 persen. Saat ini, pengusaha batu bara dinilai membayar jauh di bawah persentase tersebut.

“Enggak (mengganggu daya saing). Margin mereka hanya turun sedikit. Ini masih bisa ditingkatkan lagi tanpa mengganggu industrinya sendiri,” tambahnya.

3. Rencana pengenaan bea keluar masih dalam pembahasan intensif

Ilustrasi tongkang yang mengangkut hasil tambang, batu bara, saat melewati Jembatan Kembar di Sungai Mahakam di Samarinda (IDN Times/Yuda Almerio)

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, menyatakan, rencana ini merupakan tindak lanjut mandat Undang-Undang APBN 2026.

Kebijakan ini dianggap strategis karena penerimaan dari ekspor batu bara semakin menantang akibat tren harga global yang melemah. Selain itu, berbeda dengan bea keluar emas, pembahasan untuk batu bara masih lintas kementerian dan fokus pada insentif hilirisasi.

“Kebijakan bea keluar ini bertujuan mendukung hilirisasi dan memperkuat aktivitas ekonomi domestik terkait SDA batu bara,” kata Febrio dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI, Jakarta, Senin (17/11).

Meski Indonesia termasuk produsen batu bara terbesar dunia, nilai tambah ekspor batu bara masih rendah. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi batu bara 2024 mencapai 836,13 juta ton, atau 117,76 persen dari target produksi.

Editorial Team