Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Suasana Monas jelang perayaan Hari Buruh Internasional (May Day) pada Kamis (1/5/2025). (IDN Times/Ilman Nafi'an)
Suasana Monas jelang perayaan Hari Buruh Internasional (May Day) pada Kamis (1/5/2025). (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Intinya sih...

  • Presiden Prabowo Subianto janji pada May Day 2025 belum terpenuhi, diskriminasi usia pelamar kerja masih terjadi di Indonesia.
  • 58% pekerjaan di Indonesia adalah sektor informal, menyebabkan kerentanan kerja dan upah riil buruh menurun tajam.
  • Perusahaan cenderung menggantikan pekerja tetap dengan magang, outsourcing, dan pekerja kontrak untuk menekan biaya tenaga kerja.

Jakarta, IDN Times - Sejumlah persoalan masih menghinggapi tenaga kerja Indonesia terlepas janji-janji yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto pada momen Hari Buruh Internasional atau May Day 2025 pada 1 Mei lalu.

Direktur Eksekutif Center of Economic Law and Studies, Bhima Yudhistira, menyoroti diskriminasi usia yang masih terjadi pada pelamar kerja.

"Lowongan kerja membatasi usia pelamar 25-31 tahun menyebabkan sulitnya para korban PHK kembali bekerja di sektor formal. Regulasi di Indonesia dianggap membiarkan perusahaan melakukan diskiriminasi," kata Bhima dikutip Minggu (4/5/2025).

Hal itu tentunya berbeda dengan negara ASEAN lain seperti Thailand dan Vietnam yang menerapkan peraturan anti-diskriminasi usia pelamar kerja.

"Harapannya revisi UU Ketenagakerjaan dapat mengakomodir pasal spesifik soal anti-diskriminasi usia pelamar kerja," ujar Bhima.

1. Pekerja sektor informal jadi semakin bertambah

Driver online dan ojol demo di depan Kantor Gubernur NTB, Kamis (17/4/2025). (IDN Times/Muhammad Nasir)

Diskriminasi usia tersebut lantas berdampak pada masifnya pekerja yang terlibat dalam sektor informal gig economy seperti ojek online (ojol) dan kurir. Hal itu juga semakin diperparah dengan keterbatasan lapangan kerja di sektor formal.

"Sekitar 58 persen pekerjaan di Indonesia adalah sektor informal, menimbulkan kerentanan kerja, tidak adanya jenjang karier, dan jam kerja yang terlalu tinggi," kata Bhima.

2. Upah pekerja alami penurunan tajam

Ilustrasi Upah (IDN Times)

Selain itu, Bhima juga turut menyoroti upah riil buruh atau pekerja yang menurun tajam dan pertumbuhannya bahkan lebih rendah dibandingkan level pra-pandemik COVID-19.

Menurut Bhima, penyebab utamanya karena formulasi upah dalam Undang Undang (UU) Cipta Kerja terlalu rendah dibandingkan kenaikan pengeluaran ditanggung.

"Artinya, buruh/pekerja harus bertahan hidup dengan berhemat, meminjam uang, atau menggadaikan asetnya seperti rumah, kendaraan bermotor, dan lainnya. Upah riil yang terlalu rendah juga menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat," kata dia.

3. PHK tetap banyak terjadi

ilustrasi pemecatan (IDN Times/Aditya Pratama)

Di sisi lain, buruh atau pekerja tetap banyak yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Sedangkan, perusahaan cenderung menggantikan pekerja tetap dengan magang, outsourcing, dan pekerja kontrak.

Bhima mengatakan, perusahaan beralasan menekan biaya tenaga kerja, tetapi sebenarnya sebagian menghindari tanggung jawab memenuhi hak pekerja tetap.

"Situasi ini juga mengonfirmasi, perekonomian sedang memburuk sehingga perusahaan terus menurunkan jumlah pekerja tetapnya," ujar dia.

Editorial Team