Wikimedia.org/ The Office of the Vice President of the Republic of Indonesia
Memasuki periode akhir kepemimpinan Soeharto, perekonomian Indonesia cukup babak belur imbas dari harga minyak yang mulai jatuh kembali pada awal 1980-an. Selain itu, utang luar negeri Indonesia juga turut bertambah imbas dari reposisi mata uang pada 1985.
Tak ayal jika kemudian Soeharto dengan segenap tenaga bersama dengan kabinetnya berupaya memulihkan stabilitas makroekonomi dalam negeri. Soeharto kemudian mendevaluasi nilai rupiah pada 1983 guna mengurangi defisit transaksi berjalan yang terus tumbuh.
UU Pajak baru kemudian diterapkan untuk menambah pendapatan negara dari pajak non-minyak. Beberapa tindakan deregulasi perbankan juga dilakukan seperti penghapusan credit ceilings untuk suku bunga dan pemberian izin bagi bank untuk bebas menentukan tingkat suku bunga.
Segala macam deregulasi kebijakan dilakukan oleh Soeharto yang bertujuan untuk memperbaiki iklim investasi bagi para investor swasta.
Kebijakan yang dikeluarkan Soeharto saat itu pada awalnya memberikan dampak positif terhadap perekonomian Indonesia. Hasilnya pada periode antara 1988 hingga 1991 produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh dengan rata-rata 9 persen setiap tahunnya meski kemudian mengalami perlambatan menjadi rata-rata 7,3 persen pada selama 1991-1994.
Di sisi lain, sektor keuangan pun tak luput dari tindakan deregulasi yang dilakukan oleh Soeharto. Bank-bank swasta baru diberikan izin untuk berdiri, sedangkan bank-bank yang sudah berdiri diberikan kebebasan untuk mendirikan cabang-cabang di penjuru negeri dan bank asing pun memiliki kebebasan untuk beroperasi di luar Jakarta.
Hal itu yang kemudian nantinya berujung pada krisis ekonomi di Indonesia pada pertengahan hingga akhir 1990-an dan puncaknya krisis moneter pecah jelang kejatuhan Soeharto pada 1998.