Ilustrasi rokok (pexels/Nguyen Huy)
Menurut dia, fenomena downtrading ini terlihat dari penurunan produksi rokok golongan I yang terkena cukai lebih tinggi, yakni sebesar 14 persen.
Sebaliknya, rokok golongan II dan III yang lebih terjangkau justru mengalami peningkatan produksi masing-masing sebesar 11,6 persen dan 28,2 persen.
"Keputusan untuk tidak menaikkan CHT dan melakukan penyesuaian HJE di tahun 2025 merupakan upaya pemerintah untuk meminimalisir atau mengurangi tren downtrading dan menjaga stabilitas harga sehingga diharapkan dapat menahan laju perpindahan konsumen ke rokok dengan harga yang lebih rendah,” kata Novat.
Novat memperingatkan, kenaikan tarif CHT yang terlalu tinggi juga dapat menimbulkan masalah baru.
“Kondisi ini pada titik tertentu akan mengakibatkan kebanyakan konsumen dengan karakteristik tersebut justru mencari cara agar tetap merokok walau ilegal,” ujar dia.
Novat pun menambahkan, semakin banyaknya rokok ilegal akan mengakibatkan penerimaan cukai yang tidak mencapai target. Novat menegaskan, pergeseran ini berpotensi mengurangi penerimaan cukai negara yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan publik.
"Ini malah membuat transaksinya tidak tercatat dan tidak bisa kita monitor. Dan juga penerimaan cukai kita bahkan malah berkurang,” kata dia.
Selain itu, Novat juga menyoroti pentingnya regulasi yang dapat memberikan kepastian bagi industri tembakau dalam jangka panjang. Menurut dia, pemerintah sebaiknya segera menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang baru untuk memberikan kepastian usaha.
“Dengan adanya kepastian ini, industri hasil tembakau diharapkan bisa melakukan perencanaan jangka panjang, berinvestasi, serta menjaga daya saing,” tutupnya.