Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Pertamina ajak komunitas Harley Davidson menggunakan pembayaran BBM non tunai, Sabtu (14/12). IDN Times/Haikal Adithya

Jakarta, IDN Times - Hingga saat ini, kita masih menikmati bahan bakar minyak (BBM), bahan bakar gas (BBG), dan batu bara untuk kebutuhan hidup sehari-hari? Namun, itu tentu tidak untuk selamanya karena tiga jenis bahan bakar itu tidak termasuk energi terbarukan. Mereka akan habis pada waktunya.

Hal itu membuka perbincangan sesi Energy 4.0: Designing the Future of Indonesia's Power Sector di Indonesia Millennial Summit 2020 yang diselenggarakan IDN Times di The Tribrata, Jakarta. Di panggung Visionary Leaders IMS 2020 hadirlah tiga pembicara untuk membahas tema ini.

Ada penasihat Komisi Global Geopolitik Transformasi Energi Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA) Mari Elka Pangestu, Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) Arifin Tasrif, dan Executive Director of IBEKA Tri Mumpuni.

“Yang perlu disadari oleh negara seperti Indonesia adalah akan terjadi transformasi penggunaan energi dari tradisional atau minyak bumi dan batu bara, dan akan terjadi puncak penggunaan fossil fuel. Peak-nya mugkin 2050 sudah berubah ke energi terbarukan. Jadi kita harus siap-siap dululah,” kata Mari Elka yang segera menjabat Direktur Pelaksana, Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan untuk Bank Dunia, Jumat (17/1).

Seperti apa gambaran sektor energi Indonesia masa depan? Sudah siapkah kita beralih dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT)? Berikut diskusi mendalam tiga pembicara di IMS 2020 mengenai hal tersebut.

1. Tekanan dari dunia hingga The Greta Effect

Greta Thunberg saat memberikan pidatonya di acara Aksi Iklim di markas PBB di New York, Amerika Serikat, pada 23 September 2019. instagram.com/gretathunberg

Di panggung yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) Arifin Tasrif membenarkan pernyataan Mari Elka bahwa energi fosil semakin ditinggalkan. Dia menyebut Indonesia mendapat tekanan untuk mulai meninggalkan energi fosil.

“Banyak negara-negara telah dikampanyekan untuk tidak memberikan bantuan finansial untuk proyek-proyek yang menggunakan energi fosil. Tetapi kita masih membutuhkan ini,” ujarnya.

Senada dengan Arifin, menurut Mari Elka, perubahan menuju EBT ini terjadi bukan karena adanya target dari negara tapi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Mulai dari faktor ekonomi, sosial dan politik.

“Untuk negara seperti Indonesia yang tingkat ketergantungan dengan minyak bumi dan batu baranya masih tinggi, bukan hanya untuk energi, tapi juga pajak, ekspor, itu perlu jadi catatan. Ini tidak akan terjadi besok, tapi mungkin terjadi 5-10 tahun ke depan,” ujar Mari.

Salah satu kabar desakan paling hebat untuk perubahan menuju penggunaan EBT datang dari remaja asal Swedia berusia 17 tahun, Greta Thunberg. Namanya tentu sudah tidak asing bagi kita. Greta yang duduk di kelas 9 memutuskan untuk tidak bersekolah sampai pemilihan umum Swedia 2018 digelar pada 9 September. 

Hal itu dilakukannya setelah gelombang panas dan kebakaran hutan di Swedia terjadi. Ia menuntut pemerintah Swedia mengurangi emisi karbon sesuai dengan Persetujuan Paris. Protes itu ia lakukan dengan duduk di luar Riksdag (lembaga perwakilan rakyat) setiap hari selama jam sekolah dengan tanda skolstrejk för klimatet (mogok sekolah untuk iklim).

The message is very simple ‘Rumahku sudah terbakar, apa yang kau lakukan? Dan kau harus melakukan dari sekarang. Kalau tidak, saya tidak punya rumah lagi’. Dan ini tekanan yang akhirnya di Eropa mempengaruhi outcome dari election. Kita belum, awareness-nya masih rendah,” kata Mari.

Selain itu, sejumlah lembaga di dunia seperti Bank Dunia sudah ogah membiayai energi fosil lagi. “Bank Dunia, sudah tidak mau lagi mendanai ha-hal yang terkait penggunaan energi seperti minyak bumi dan batu bara.

Misalnya Standard Chartered, sudah mengumumkan tidak akan memberi pinjaman kepada power plant yang menggunakan batu bara,” kata Mari.

2. Energi fosil yang akan terus berkurang

Editorial Team

Tonton lebih seru di