potret bendera Indonesia (pixabay.com/Reinaldoreinhart)
Berbeda dengan World Happiness Report yang menilai sejauh mana seseorang menjalani kehidupan ideal versi mereka, studi ini memperluas perspektif dengan turut menilai kondisi lingkungan sosial yang mendukung kehidupan tersebut.
Para peneliti menjelaskan bahwa meski istilah flourishing sering disamakan dengan well-being, flourishing mencakup dimensi lingkungan yang turut menunjang pertumbuhan individu. Dalam temuannya, tingkat kekayaan negara ternyata bukan penentu utama dalam persepsi warga mengenai kualitas hidup yang utuh.
Penulis studi menegaskan, mereka tidak menyimpulkan adanya hubungan sebab akibat antara tingkat produk domestik bruto (PDB) dan penurunan makna hidup. Mereka menekankan tujuan ideal suatu masyarakat adalah mencapai kemajuan ekonomi sekaligus kedalaman makna hidup, dan tantangannya adalah bagaimana meraih keduanya secara seimbang.
“Hasil yang diharapkan dari sebuah masyarakat adalah memiliki tingkat pembangunan ekonomi yang tinggi sekaligus tingkat makna hidup yang tinggi, pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mencapainya," tulis peneliti.
Temuan studi juga mengungkap perubahan pola dalam kurva kebahagiaan yang selama ini dikenal berbentuk U, di mana kepuasan hidup cenderung tinggi saat muda, menurun di usia paruh baya, lalu meningkat kembali di usia tua. Namun, pola itu kini tampak memudar.
Responden berusia 18 hingga 29 tahun justru menunjukkan tingkat perkembangan yang lebih rendah dari perkiraan. Penelitian sebelumnya mengaitkan penurunan itu dengan sejumlah faktor seperti isolasi sosial, tekanan keuangan, situasi sosial-politik yang tidak stabil, serta krisis makna dan arah hidup.