Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Negara Berkembang Dibayangi Ancaman Krisis Utang

Ilustrasi utang (freepik.com/freepik)
Intinya sih...
  • Bank Dunia desak liberalisasi perdagangan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meringankan beban utang negara-negara berkembang.
  • Tingkat utang yang tinggi membuat separuh dari 150 negara berkembang berada dalam risiko gagal bayar atau tidak mampu membayar kewajiban utang mereka.
  • Tantangan yang dihadapi termasuk suku bunga global yang tinggi, ekspektasi inflasi meningkat, dan perlu meningkatkan efisiensi penggunaan modal, tenaga kerja, dan energi.

Jakarta, IDN Times – Kepala Ekonom Bank Dunia, Indermit Gill, memperingatkan tentang ancaman krisis utang yang kian memburuk dan pertumbuhan ekonomi yang melambat di negara-negara berkembang. Pernyataan ini disampaikan dalam pertemuan musim semi Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia di Washington, yang berlangsung pekan ini.

Kondisi ekonomi global yang tidak menentu, ditambah dengan ketidakpastian perdagangan akibat tarif tinggi Amerika Serikat (AS) dan respons balasan dari Tiongkok, Uni Eropa, serta Kanada, memperparah tekanan pada negara-negara berkembang. Gill menekankan bahwa liberalisasi perdagangan menjadi solusi mendesak untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meringankan beban utang.

1. Lonjakan utang dan risiko gagal bayar

Tingkat utang yang tinggi membuat separuh dari sekitar 150 negara berkembang dan pasar berkembang berada dalam risiko gagal bayar atau sudah tidak mampu membayar kewajiban utang mereka, pada Sabtu (26/4/2025). Angka ini dua kali lipat dibandingkan 2024, menurut laporan Bank Dunia.

“Ketidakpastian perdagangan yang melonjak dan suku bunga tinggi memperburuk situasi,” kata Gill, dikutip dari Reuters.

Jika ekonomi global melambat, risiko ini dapat meningkat, mendorong lebih banyak negara ke jurang krisis utang. Liberalisasi perdagangan, seperti pemotongan tarif, diyakini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 1,5 persen, jauh di bawah angka 8 persen pada dekade 2000-an.

2. Dampak tarif tinggi dan perlambatan perdagangan

Pertemuan IMF dan Bank Dunia pada Jumat (25/4/2025) menyoroti dampak tarif tinggi AS yang mencapai level tertinggi dalam satu abad. Tarif ini, bersama dengan respons balasan dari negara lain, memperlambat pertumbuhan perdagangan global, yang kini diproyeksikan hanya tumbuh 1,5 persen.

“Krisis saat ini akan semakin menekan pertumbuhan pasar berkembang, yang telah menurun dari 6 persen dua dekade lalu,” ujar Gill.

Ia menyarankan negara-negara berkembang untuk memangkas tarif mereka sendiri guna menarik investasi asing langsung (FDI) dan mempercepat pemulihan ekonomi, terutama di tengah tekanan inflasi yang terus meningkat.

3. Solusi liberalisasi dan tantangan ke depan

Gill menekankan bahwa membuka akses perdagangan dan investasi asing adalah kunci untuk mengatasi krisis utang, sebagaimana disampaikan dalam wawancara, pada Kamis (24/4/2025). Negara-negara kecil, khususnya, didorong untuk mempermudah perdagangan dan investasi, terlepas dari kebijakan ekonomi besar seperti G20.

“Pemotongan tarif dapat memberikan dorongan besar bagi pertumbuhan,” kata Gill, dikutip dari Bloomberg.

Namun, tantangan tetap ada, termasuk suku bunga global yang tinggi dan ekspektasi inflasi yang meningkat, yang dapat menambah beban utang jika negara-negara harus memperpanjang pinjaman mereka. Negara-negara berkembang juga perlu meningkatkan efisiensi penggunaan modal, tenaga kerja, dan energi untuk memaksimalkan potensi pertumbuhan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us