Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi jalan tol fungsional untuk mudik Lebaran. (dok. Kementerian PUPR)

Intinya sih...

  • Pembangunan jalan tol membantu pelaku logistik mengurangi biaya bahan bakar dan perawatan kendaraan.
  • Pemerintah fokus pada Jaringan Tol Trans Jawa dan Trans Sumatra, namun tarifnya tinggi sehingga banyak yang memilih jalur nontol.
  • Tarif Tol Trans Jawa termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara, namun kontribusinya hanya 5-10% terhadap biaya logistik secara keseluruhan.

Jakarta, IDN Times - Pembangunan infrastruktur jalan tol secara masif yang dilakukan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir telah memberikan dampak positif bagi arus logistik darat. Namun, di sisi lain banyak pelaku logistik juga mengeluhkan tingginya tarif jalan tol tersebut yang berdampak negatif bagi bisnisnya.

Sejak 2016 silam, pemerintah gencar membangun infrastruktur yang salah satunya adalah jalan tol dah bahkan menjadikannya sebagai proyek strategis nasional (PSN). Untuk diketahui, panjang jalan tol di Indonesia pada 2016 hanya 1.117 kilometer dan selang 7 tahun kemudian atau pada 2023 meningkat signifikan menjadi 2.816 kilometer.

"Pembangunan infrastruktur jalan tol ini memang diakui banyak membantu para pelaku logistik untuk bisa mengurangi biaya bahan bakar dan menghemat perawatan kendaraan karena kendaraannya bisa jalan di kecepatan yang stabil. Tapi salah satu tantangan pada kebijakan infrastruktur jalan tol ini adalah tarif tolnya masih sangat tinggi dan ini yang dikeluhkan oleh beberapa pelaku logistik," tutur Peneliti Senior Tenggara Strategics, Eva Novi Karina, dalam Konferensi Pers Optimalisasi Penurunan Biaya Logistik Darat, Wujudkan Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Jumat (22/11/2024).

1. Pelaku logistik terpaksa tidak pilih jalan tol

Truk distribusi barang antre beberapa hari karena banjir. (IDN Times/adpim).

Dari sekian banyak pembangunan jalan tol, pemerintah memang fokus pada dua infrastruktur yakni Jaringan Tol Trans Jawa dan Trans Sumatra. Para pelaku logistik pun mesti merogoh kocek lumayan dalam ketika harus menggunakan dua jaringan jalan tol tersebut untuk mengangkut muatannya. Oleh karena itu, jalur konvensional nontol pun menjadi pilihan pelaku logistik demi menekan biaya semurah mungkin.

"Tidak sedikit dari mereka yang lebih memilih, terutama untuk Trans Jawa, lebih memilih jalur konvensional lewat jalur pantura dibandingkan harus masuk ke tol Trans Jawa yang katanya sangat tinggi dan ini membuat peningkatan volume kargo di transportasi darat pun terbatas, tidak bisa mengikuti tren peningkatan infrastruktur jalan tol yang ada di Indonesia," papar Eva.

2. Tarif tol Trans Jawa

Suasana GT Warugunung. (Dok. PT Jasamarga)

Berdasarkan laporan pada 2019, biaya yang dibutuhkan untuk melewati Tol Trans Jawa bagi truk golongan V bisa mencapai lebih dari Rp1 juta sekali jalan. Kondisi itu yang kemudian menyebabkan banyak pengelola angkutan darat lebihmemilih menggunakan jalur nontol seperti Pantura meskipun lambat dan padat serta menawarkan biaya operasional yang lebih rendah dibandingkan dengan jalan tol.

Selain itu, Eva mengatakan perbandingan antara tarif tol di Indonesia dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya juga menunjukkan, tarif Tol Trans Jawa termasuk yang tertinggi.

"Hal ini dapat dipahami mengingat panjang Tol Trans Jawa yang menghubungkan Merak hingga Banyuwangi. Cakupan jalan yang sangat luas ini membutuhkan biaya pemeliharaan yang lebih besar, yang pada akhirnya berpengaruh pada tingginya tarif tol yang dikenakan," kata dia.

Selain itu, sambung Eva, Jasa Marga selaku pengelola Tol Trans Jawa juga menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan biaya operasional dan pemeliharaan dengan pengembalian investasi yang harus dipenuhi.

3. Tarif tol tidak signifikan bebani biaya logistik nasional

Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo melanjutkan Kunjungan Kerja di wilayah Jawa Tengah - D.I Yogyakarta dengan meninjau progres pembangunan Jalan Tol Solo-Yogyakarta - NYIA di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Sabtu (16/11/2024). (Dok. Kementerian TU)

Sebelumnya diberitakan, perbedaan tarif tol antara kendaraan logistik dan nonlogistik diyakini tidak akan berpengaruh signifikan dalam upaya menurunkan biaya logistik di Indonesia. Hal itu lantaran kontribusinya yang cenderung minim bagi komponen biaya logistik secara keseluruhan.

"Tarif tol itu memberikan kontribusi kurang lebih 5 sampai 10 persen saja. Jadi, nggak besar, yang terbesar itu adalah BBM jenis solar," kata Senior Consultant Supply Chain Indonesia (SCI), Sugi Purnoto kepada IDN Times, dikutip Selasa (16/1/2024).

Solar, kata Sugi, berkontribusi terhadap biaya logistik nasional sebesar 25 persen hingga 50 persen. Namun, Sugi menyatakan angka tersebut bisa lebih besar mengingat kondisi di lapangan tidak selalu sesuai dengan harapan.

"Tergantung konsumsi borosnya, jaraknya, dan seterusnya, tapi kisarannya rata-rata seperti itu, jadi itu lebih besar," ucap Sugi.

Editorial Team