Potret komplek perumahan bersubsidi dari program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). (dok. Kementerian PUPR)
Di sisi lain, Shinta mengatakan Menko Airlangga juga memberikan lampu hijau terkait usulan revisi UU Tapera tersebut. “Beliau mendukung bahwa yang direvisi di UU terlebih dahulu, itu yang akan direvisi,” katanya.
Sebelumnya, anggota DPR RI dari Fraksi PKS Suryadi Jaya Purnama menyoroti masalahnya bukan tentang sosialisasi, melainkan terlalu lamanya pengundangan UU No. 4 Tahun 2016 tentang Tapera atau delapan tahun menunggu baru dibuat PP pada tahun 2020 dan 2024 dan akan menunggu lagi peraturan menteri ketenagakerjaan, sebab situasi perekonomian masyarakat saat ini sudah sangat jauh berbeda dengan saat UU Tapera ini dibahas.
“Padahal UU tentang Tapera pada tahun 2016 lalu mendapat dukungan dari berbagai organisasi buruh seperti Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI). Bahkan RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) DPR RI dengan Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBS) membahas UU ini pernah dilakukan pada 23 November 2015,” ungkapnya.
Saat ini, kata pria yang akrab disapa SJP ini, sudah terlalu banyak potongan gaji pekerja seperti BPJS Kesehatan yang memotong gaji 1 persen, BPJS Ketenagakerjaan Jaminan Pensiun 1 persen, Jaminan Hari Tua 2 persen, belum lagi PPh 21 atau Pajak Penghasilan Pasal 21 yang memotong 5-35 persen sesuai penghasilan pekerja.
“Potongan gaji pekerja dengan label wajib di atas semakin menambah trauma para pekerja, dengan adanya kewajiban menjadi peserta Tapera seperti dinyatakan Pasal 7 UU No. 4 Tahun 2016,” tegas Suryadi.
Belum lagi, imbuhnya, ketidakpercayaan masyarakat karena adanya penyalahgunaan dana seperti pada kasus Jiwasraya dan Asabri. Sehebat apapun konsep skema pengelolaan dana yang dilakukan oleh Badan Pengelola (BP) Tapera, masyarakat masih sulit untuk diyakinkan.