Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Eddy Soeparno ketika berbicara di program 'Ngobrol Seru' by IDN Times soal pidato nota keuangan negara 2025. (Dokumentasi IDN Times)
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Eddy Soeparno ketika berbicara di program 'Ngobrol Seru' by IDN Times soal pidato nota keuangan negara 2025. (Dokumentasi IDN Times)

Intinya sih...

  • MPR usulkan pemerintah andalkan pendapatan negara dari investasi dan ekspor

  • Pemerintah hadapi sejumlah tantangan untuk pendapatan dari ekspor

  • Target pertumbuhan ekonomi 2026 sulit tercapai bila daya beli masih lemah

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Eddy Soeparno mengaku yakin pemerintahan Prabowo Subianto bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,4 persen pada 2026. Salah satu indikatornya, kata Eddy, pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama dan kedua 2025 yang terus meningkat.

Pada kuartal pertama 2025, ekonomi Indonesia tumbuh 4,87 persen. Sedangkan, di kuartal kedua 2025, muncul kejutan yakni ekonomi bertumbuh 5,12 persen. Maka, dalam pandangan Eddy, pemerintah perlu menggenjot pertumbuhan ekonomi agar bisa tetap konsisten dan target pada 2026 dapat tercapai.

"Sebab, ada beberapa peluang yang sudah terefleksi di pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua ini yaitu dari aspek investasi, nilai tambah dari hilirisasi, dan berbagai kegiatan masyarakat yang hidup lagi karena adanya dukungan pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat tetap kuat," ujar Eddy ketika berbincang di program Ngobrol Seru by IDN Times pada Jumat (15/8/2025) lalu.

Pernyataan Eddy itu disampaikan mengomentari pidato nota keuangan yang disampaikan oleh Prabowo. Lewat nota keuangan itu, Prabowo menargetkan peningkatan pendapatan negara dan pertumbuhan ekonomi.

Lantaran sejumlah faktor itulah, pria yang juga merupakan Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut optimistis pertumbuhan ekonomi RI selama enam bulan ke depan dan 2026, akan tetap naik.

1. MPR usulkan pemerintah andalkan pendapatan negara dari investasi dan ekspor

Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno sebut belum ada permintaan resmi Gibran dimakzulkan. (IDN Times/Amir Faisol)

Lebih lanjut, Eddy mengatakan untuk bisa meningkatkan pendapatan negara, maka pemerintah disarankan untuk mendongkrak dua faktor yaitu ekspor dan investasi. Sebab, ratio pajak pada 2025 masih berkisar di angka 10,5 persen.

"Sehingga, masih perlu digenjot lebih lanjut lagi. Oleh karena itu pemerintah harus mengandalkan pertumbuhan ekonomi dari sektor ekspor dan investasi," katanya.

Sementara, Prabowo menargetkan pendapatan negara pada 2026 mencapai Rp3.147,7 triliun. Target itu mengalami kenaikan 9,8 persen dibandingkan outlook pendapatan negara 2025.

Eddy menambahkan karena mayoritas pendapatan negara masih bergantung pada konsumsi masyarakat maka pemerintah akan tetap memberikan sejumlah insentif agar daya beli masyarakat tinggi.

"Insentif itu seperti diskon listrik, penebalan di bansos, pemberian insentif juali beli rumah dengan PPN 0 persen. Tapi, di atas itu harga-harga tidak boleh meningkat. Maka, inflasi ditargetkan rendah ke depan supaya daya beli masyarakat tidak tergerus," tutur dia.

2. Pemerintah hadapi sejumlah tantangan untuk pendapatan dari ekspor

Infografis 15 Daftar Ekspor RI yang Paling Terdampak Tarif Trump (IDN Times/Aditya Pratama)

Eddy juga mengakui untuk mendongkrak pendapatan dari sektor ekspor saat ini tidak mudah. Apalagi situasi global saat ini tidak menentu.

"Di sisi lain, Indonesia juga kena Trump Tariff 19 persen. Tapi, angka itu tidak kecil. Ditambah lagi perdagangan internasional cenderung inward looking, yang mengedepankan my country first. Sehingga, politik yang dikedepankan adalah isolasi, protectionism, itu justru bertentangan dengan kerja sama regional, multilateral, dan internasional berdasarkan berbagai perjanjian dagang," kata Eddy.

Tantangan lainnya yaitu bila Indonesia mengekspor produk ke Benua Eropa maka harus mengedepankan energi terbarukan. Ketika pajak karbon dalam bentuk CBAM diberlakukan pada 2026 di Eropa, maka produk Indonesia yang diekspor menghadapi tantangan.

CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) aturan yang dibuat Uni Eropa untuk mengantisipasi kebocoran emisi karbon. Secara umum, aturan tersebut mengatur agar perusahaan Uni Eropa memberi sertifikat penurunan emisi karbon melalui pasar karbon saat mengimpor produk dari luar wilayah Uni Eropa.

"Tantangan yang dihadapi yakni adanya sertifikasi dan produksi barang-barang kita dihasilkan dari produksi yang berkelanjutan berdasarkan energi hijau," imbuhnya.

Padahal, potensi ekspor produk Indonesia cukup besar.

3. Target pertumbuhan ekonomi 2026 sulit tercapai bila daya beli masih lemah

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. (Dok. IDN Times)

Sementara, dalam pandangan analis ekonomi dari Universitas Andalas (Unand), Syarifuddin Karimi target pertumbuhan ekonomi hingga 5,4 persen pada 2026 diprediksi sulit dicapai bila pemerintah pusat dan daerah tidak bergerak selaras. Hal itu terutama dalam menjaga daya beli masyarakat yang saat ini dinilai melemah.

Kondisi di lapangan, kata Syarifuddin, menunjukkan kekhawatiran yang kian nyata. Pasar tradisional dan pusat perbelanjaan di sejumlah kota besar tampak lengang, bahkan pada akhir pekan dan hari libur nasional. Fenomena ini, katanya menjadi indikator daya beli masyarakat sedang mengalami tekanan serius.

"Saat ini, kondisi lapangan menunjukkan bahwa daya beli masyarakat sedang rapuh, pasar tradisional dan pusat perbelanjaan cenderung sepi meski di hari libur," ujar Syarifuddin pada Senin kemarin.

Oleh sebab itu, rencana sejumlah pemerintah daerah untuk menaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bertolak belakang dengan upaya pemulihan ekonomi. Kenaikan PBB, ujar dia, bersifat kontraktif karena menekan pengeluaran konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi nasional.

Editorial Team